23: Keputusan

35 3 0
                                    

Sudah dua hari semenjak Hendra menawarkan untuk bekerja sama dengan Silvi, tapi Silvi belum juga memberi jawaban. Sekarang adalah hari terakhirnya untuk membuat keputusan.

Dengan raut wajah cemasnya, Silvi berjalan kesana-kemari sambil menggigit kukunya. Entah kenapa kalau ia sedang berpikir keras, bayangan Musa selalu muncul di benaknya.

"Gue gak tahu apa rencana Hendra, tapi gue pengen banget buat milikin lo, Musa."

Silvi terduduk di depan meja riasnya, menatap lekat wajah polos tanpa make up di pantulan cermin itu. Wajah yang cantik, mempesona, dan rambut yang panjang digerai begitu saja. Ia hampir mendekati kata 'Sempurna', tapi Musa sama sekali tidak tertarik padanya?

"Gue udah berusaha," gumamnya dengan mata yang berkaca-kaca. "Sebenernya apa yang ada di Alina yang gak ada di gue?"

Cinta, Silvi. Kamu tidak memiliki cinta Musa, kamu juga tidak mampu menaklukkan hatinya. Memang banyak wanita cantik di dunia ini, tapi yang seperti Alina ... tidak ada. Bagi Musa, Alina adalah satu-satunya wanita yang berada di dalam hatinya, dan mampu menaklukkan jiwa dan raganya dengan mudah.

"Arghh!!" Silvi melempar salah satu alat make up miliknya ke cermin dengan keras membuat cermin itu sedikit pecah.

Silvi mengatur napasnya yang terengah-engah dan menangis tersedu-sedu karena merasa kalah telak dengan Alina. Silvi kira, dengan berada di kelas yang sama dengan Musa, dirinya bisa dengan mudah mendapatkannya. Tapi rupanya, semuanya tidak segampang yang ia pikirkan.

Selama ini Silvi selalu tampil cantik dan rapi. Ia bahkan belajar mati-matian agar bisa menyamai otaknya dengan pria incarannya. Yah ... meski pada akhirnya mentok di ranking tiga.

"Sebenernya apa yang lo cari, sih?! Udah hampir satu bulan, gue berperang dengan pikiran gue supaya bisa relain lo pacaran sama Alina, tapi gue gak bisa! Gue gak bisa bohongin diri gue, Musa!"

Dengan sisa tenaganya, Silvi berteriak mengeluarkan semua rasa frustasi yang menumpuk di benaknya. Menutup wajahnya dengan kedua tangannya, gadis cantik ini menangis sekuat yang ia bisa.

***

Sementara itu di Mona Dessert, Hendra tengah bersantai di sana sembari menunggu kedatangan Bima. Sejak kemarin, mereka berdua berencana untuk pergi bersenang-senang malam ini.

"Dessert spesial untuk anak Mama yang spesial!" seru Mona sambil menghidangkan dua dessert box red velvet pada meja putranya.

"Makasih, Ma." Hendra mengecup singkat pipi sang Mama lalu tersenyum senang.

"Sama-sama, Sayang." Mona membelai rambut Hendra.

Sebenarnya sekarang sudah waktunya tutup, tapi Mona menyempatkan diri untuk membuat dua dessert saat mengetahui bahwa Hendra dan Bima akan mampir sebentar.

"Mama gak bisa lama-lama. Mama pulang dulu ya. Tenang aja, ada Mbak Lestari di dalem. Nanti dia yang nutup. Oh iya, salam dari Mama buat Bima ya, Sayang."

"Oke, Ma."

Mona mengecup kening Hendra sebelum pergi dengan menenteng tas selempang miliknya.

Setelah melihat Mamanya pergi dengan mobilnya, Hendra meraih ponselnya di saku celana dan menelepon Bima.

Saat telepon terhubung, Hendra menempelkan layar ponsel ke telinga. "Halo, Bim? Lo ada di mana?"

"Ini gue udah nyampe, Bro."

Hendra melihat ke arah pintu masuk. Tampaklah Bima yang berjalan mendekati dirinya. Hendra pun langsung berdiri untuk memberi sambutan kecil padanya.

"Hei, Bro."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KETOS SCANDALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang