20: Ancaman

30 5 0
                                    

Aku masih termangu memandang Kevin yang memasang senyum licik itu. Dia berjabat tangan dengan siswa suruhannya dan berkata, "Kerja bagus. Kasih semua duit itu ke pendukung Musa."

"Baik, Kak."

Apakah dia menyuapnya agar Musa mendapatkan suara terbanyak lalu menang dariku? Benar-benar licik! Apa Musa juga terlibat dalam hal ini? Kalau benar begitu, aku tidak akan memaafkannya.

Saat aku masih memerhatikan Kevin, tiba-tiba tanpa sengaja dia melihat ke arahku. Aku pun tersentak kaget dan langsung mengalihkan pandanganku ke sembarang arah seolah tidak melihat apa yang pria itu lakukan tadi.

"Mati gue!" pekikku dalam hati.

"Lo sana pergi," pinta Kevin lalu diangguki oleh siswa itu.

Setelah siswa suruhannya pergi, dengan tangan yang ia selipkan ke saku celana, Kevin berjalan mendekatiku. Aku yang menyadari hal tersebut pun refleks masuk kembali ke dalam toilet untuk bersembunyi darinya, tapi sepertinya percuma. Kevin sudah terlanjur melihatku.

"Hendra, gue tahu lo ada di dalem."

Mataku melebar sempurna manakala aku mendengar suara beratnya. Aku memutuskan untuk tidak mengeluarkan suara apapun dan bersikukuh untuk sembunyi di sini.

"Hendra, gak usah sembunyi dari gue. Coba sini keluar, gue gak bakal apa-apain lo."

Aku tidak percaya padanya, tapi dia terus mengatakan sesuatu yang membuat diriku yakin bahwa ia tidak akan melukaiku. Aku pun membuka pintu toilet pelan-pelan, tampaklah Kevin yang berdiri tepat di depan pintu dengan raut wajah murka. Untuk pertama kalinya aku melihat ekspresi mengerikan itu.

Saat aku buru-buru ingin menutup pintu kembali, Kevin langsung menendangnya membuat aku terpental ke dinding toilet. Dahiku terasa panas akibat benturan yang terjadi. Ketika aku meraba area dahiku, rupanya aku terluka. Dahiku berdarah.

Aku kembali tersentak saat tangan Kevin menarik kerah bajuku kasar membuat tubuhku terangkat.

"Dengerin gue baik-baik. Sebelumnya gue minta maaf sama lo, Dra. Tapi ... gue pikir lo gak bakal becus buat ngurus organisasi. Dan menurut gue, Musa jauh lebih mampu daripada lo."

Aku memasang telingaku baik-baik, mencoba mencerna setiap perkataannya meski keadaan tubuhku sedang gemetar hebat. Aku tidak berani melawan Kevin, karena selain dia adalah anak kelas dua belas, jabatannya pun juga lebih tinggi dariku walau sebentar lagi masa jabatannya akan habis.

"Lo gak perlu sakit hati sama Musa, apalagi sama gue. Bukannya ... menyuap kayak gini udah biasa ya buat pelantikan Ketua dan Wakil Ketua OSIS? Iya gak, Dra?"

Dengan terpaksa aku mengganggukkan kepala, seakan setuju dengan omong kosongnya.

"Satu lagi, Dra. Lo jangan sampe ngasih tahu siapa-siapa tentang ini kalo lo pengen hidup tenang. Ngerti?"

Kali ini aku tidak meresponnya. Aku sangat ketakutan sampai hanya sekedar menjawab 'Iya' saja aku tidak sanggup. Mataku memerah menahan air mata agar tidak jatuh.

Karena aku tak bergeming membuat kekesalan Kevin kian meningkat. Ia memperkuat cengkramannya sampai urat-urat di tangannya ikut keluar.

"JAWAB!!"

"I-iya, ngerti."

Perlahan Kevin melepas cengkramannya terhadap kerah bajuku lalu merapikan dasiku yang sempat berantakan karenanya.

"Sorry, gue pergi dulu. Gue harus nyampein pesan dan kesan ke semua siswa. Gue harap lo pegang omongan lo yang barusan."

Setelah mendapat anggukan dariku, Kevin pun pergi meninggalkan aku yang menyedihkan ini di toilet.

KETOS SCANDALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang