BAGIAN 6. Dekapan Sosok Ibu

25 6 2
                                    

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

UPDATE UPDATE🔔🔔🔔

Mengingatkan kembali, bahwa cerita ini MURNI hasil pemikiran ku sendiri. Jika ada kesamaan, sudah pasti ketidak sengajaan!

Tandai jika ada typo!!
Jangan sungkan untuk bantu koreksi bila ada kesalahan dalam penulisan aku, ya!!

Sebelum baca, harap untuk VOTE terlebih dahulu.

UNTUK PARA PLAGIAT, SILAHKAN MINGGAT.

HAPPY READING 🤍


"Jangan dulu pulang, kemampuan lo masih banyak. Setidaknya, perlihatkan pada dunia bahwa manusia yang penuh luka kayak lo juga bisa bahagia."

~•••[SATERIA J.A.]•••~


Lelaki yang telah lengkap dengan seragam itu berdiri di depan cermin. Menatap pantulan wajahnya yang memiliki beberapa memar akibat semalam. Ia menghembuskan nafas pelan, mengalihkan pikiran agar tak terkurung dalam ketakutan.

Dirinya melangkah keluar dari kamar, menuruni anak tangga perlahan. Seperti hari hari sebelumnya, dua nyawa telah terduduk rapi di ruang makan, melahap segala makanan untuk energi hari ini. Sateria tersenyum tipis, tak ada sama sekali niatan untuk menyapa, karena hal itu hanya sia-sia.

Namun, ketika langkahnya telah sampai di depan pintu utama, suara sang kakak menolehkan pandangannya.

"Muka lo kenapa memar begitu? Habis tawuran sama siapa lo?"

Sateria menghembuskan nafas kasar. Ia kembali mengalihkan tatapannya, bukan enggan melihat sang kakak, namun dirinya merasa sakit saat melihat lelaki paruh baya yang duduk di samping Jamian.

"Semalem gue habis ngehajar soal matematika, tapi balik dihajar sama ayah lo, Bang."

Setelah ucapan itu terlontar, suara gebrakan meja menghentikan kegiatan Sateria yang tengah memakai sepatunya. Lelaki dengan wajah penuh memar itu menolehkan pandangan, begitupun Jamian yang menatap bingung Ayahnya.

"Sudah berani kamu memfitnah saya?!"

Suara tegas itu menggema seantero rumah. Beberapa asisten rumah tangga segera meninggalkan ruang makan, berjalan cepat menuju halaman belakang. Takut menjadi sasaran amukan sang Tuan.

Sateria menggeleng pelan dengan senyuman tipis. "Sateria nggak fitnah papa, tapi itu kenyataannya. Semalem, papa pulang dengan keadaan mabuk, jadi papa nggak akan ingat." Remaja itu menepuk lututnya, kemudian berdiri. Menatap pada ayah juga kakaknya yang masih terduduk di meja makan.

"Nggak apa-apa, Pah. Sateria udah maafin papa, 'kan pukulan kayak gini udah biasa," lanjut remaja itu tanpa menghiraukan ekspresi sang Ayah yang telah sepenuhnya dilahap api amarah.

Pria paruh baya itu mengepalkan tangan, merasa direndahkan kala Sateria mengucapkan bahwa ia telah dimaafkan. Jangankan berharap dimaafkan, dirinya saja begitu enggan meminta maaf. Untuk apa meminta maaf sedangkan dirinya tak memilki salah apapun, pikirnya.

"Kau—"

"Udahlah, Pah. Lagian papa nggak akan mukulin kalau lo nggak bikin onar!"

Jamian menengahi, bukan apa-apa, hanya saja ia sangat benci keributan di pagi hari. Terutama saat sarapan seperti ini. Sungguh, mood makannya benar-benar hilang.

SATERIA J.A   [ON GOING] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang