BAGIAN 11. Tak Seburuk Itu

13 2 0
                                    

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

UPDATE UPDATE🔔🔔🔔

Mengingatkan kembali, bahwa cerita ini MURNI hasil pemikiran ku sendiri. Jika ada kesamaan, sudah pasti ketidak sengajaan!

Tandai jika ada typo!!
Jangan sungkan untuk bantu koreksi bila ada kesalahan dalam penulisan aku, ya!!

Sebelum baca, harap untuk VOTE terlebih dahulu.

UNTUK PARA PLAGIAT, SILAHKAN MINGGAT.

HAPPY READING 🤍


“Menangis tidak membuatmu lemah, justru dengan menangislah kamu mampu menguatkan kembali hati yang patah.”

~•••[SATERIA J.A.]•••~

Hampir seluruh Indonesia dibuat geger oleh berita-berita terbaru yang bermuculan pagi ini. Baik di Media Sosial—khususnya platfrom dan akun-akun berita Indonesia—maupun acara televisi. Pro dan kontra dari beberapa kubu tak terelakan. Panas mencekam di dunia maya, melahap informasi yang bahkan belum mendapat tanggapan pasti dari pemiliknya. Namun tak ayal, sebagian dari mereka memanfatkan kondisi demi keuntungan pribadi. Pagi ini, Media Sosial benar-benar menyeramkan.

Dibalik itu, peran utama yang menjadi topik pagi ini jelas murka. Tangan nya mengepal kuat melihat potret yang menjadi buah segar dari para masyarakat untuk mencari kebenarannya. Meskipun gambar itu tak menunjukkan jelas wajahnya, namun jelas sekali, ribuan manusia di media sosial itu mempunyai mata yang jeli tak terkendali.

Tak lama, lelaki paruh baya dengan piyama hitam melangkah mendekati si pemuda. Kekehan sarkas mengudara, hantaman kuat pada rahang yang lebih muda menjadi ucapan selamat pagi baginya.

"Papa tidak tahu, bahwa otak mu masih mempunyai celah yang kosong. Kau, benar-benar bodoh, Arjamian." Lelaki paruh baya itu memandang dingin sang anak yang tak berani mengangkat wajahnya selain bertatapan dengan ubin lantai di bawah kakinya.

"Untung saja keluarga omah mu tidak jadi datang ke Indonesia, alhasil berita itu tidak akan terlalu cepat menyebar padanya," ucap Derano diakhiri senyuman sinis nya.

Ia benci, ia benci ketika melihat kelalaian pada anaknya. Karena menurutnya, segala hal mesti sempurna. Sebab kesempurnaan lah yang membuatnya dipandang oleh mereka. Meski harus meluncurkan kebohongan, terpenting jiwa itu mendapat segan dari orang-orang.

"Maaf, Pah." Jamian menghembuskan nafas pelan. Ditatapnya kedua mata kelam milik sang Ayah. Tatapan itu asing. Bukan tatapan seorang Ayah pada anaknya, bukan juga tatapan seorang lelaki dengan secercah kasih sayang. Tatapan itu; penuh ambisi dan obsesi kesempurnaan.

Derano menghembuskan nafas berat. Kemudian berkata, "Perbaiki semuanya, jangan sampai nama saya dan nama mu buruk di mata mereka."

Bagaimanapun, Derano telah dikenal hampir mendunia. Kesuksesan berhasil membuat namanya harum dikalangan masyarakat juga orang-orang berpangkat lainnya. Maka jelas saja, hanya murka yang ia telan kala mendengar berita tak mengenakkan tentang anak-anaknya. Jelas saja, berita itu tentu mengancam reputasi yang telah ia bangun dengan peluhnya sendiri.

Setelahnya, Derano meninggalkan Jamian yang kini memejamkan mata, menahan amarah yang dirinya sendiri tak tahu harus ia salurkan pada siapa yang bersalah.

SATERIA J.A   [ON GOING] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang