BAGIAN 7. Mimpi-Mimpi Binasa

20 6 2
                                    

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

UPDATE UPDATE🔔🔔🔔

Mengingatkan kembali, bahwa cerita ini MURNI hasil pemikiran ku sendiri. Jika ada kesamaan, sudah pasti ketidaksengajaan!

Tandai jika ada typo!!
Jangan sungkan untuk bantu koreksi bila ada kesalahan dalam penulisan aku, ya!!

Sebelum baca, harap untuk VOTE terlebih dahulu.

UNTUK PARA PLAGIAT, SILAHKAN MINGGAT.

HAPPY READING 🤍


“Semua ingin sempurna, semua ingin bahagia. Namun, ini hanya dunia.”

~•••[SATERIA J.A.]•••~


Secangkir teh hangat bertengger digenggam seorang pria. Matanya memandang lurus ke depan, di mana gedung gedung menjulang tinggi, jalanan juga lalu lalang kendaraan yang tampak menyusut kecil dalam penglihatannya. Setumpuk berkas ia biarkan begitu saja, tak tersentuh sejak dirinya mendatangi tempat ini. Karena nyatanya, laporan-laporan tentang perkembangan usaha kuliner miliknya tak lebih menarik dari birunya sang cakrawala.

Hembusan nafas kasar terdengar kala memory otaknya mengulang jelas kejadian beberapa tahun silam. Sebuah tragedi, sebuah trauma, juga sebuah awal dari bencana. Sesuatu yang menjadi kunci utama atas kehidupannya kini.

Derano, lelaki dengan usia yang tak lagi muda itu merasakan sesak yang teramat. Suatu tekanan yang membuat ia menjadi seseorang yang bejat tak terkendali. Mungkin, hukuman mati tidak pantas untuk dirinya saat ini.

"Sampai kapan kebohongan ini akan ditutupi olehnya.."

Menurut Derano, harapan akan sebuah akhir damai dalam hidupnya sama saja dengan berharap dapat memeluk kobaran api.

Sedangkan, dalam denting waktu yang sama namun tempat yang berbeda, Sateria kini terduduk di pekarangan rumah nenek Sina. Bukan secangkir teh hangat yang menemani, melainkan secangkir jamu tradisional yang ia tatap dengan getir.

"Diminum dulu jamunya, Nak."

Suara wanita tua membuat Sateria menoleh. Ia tersenyum tipis mendapati sang nenek yang kini duduk disebelahnya dengan satu piring penuh berisi makanan favoritnya—pisang goreng. Mendadak, perutnya kembali merasa lapar, sebab dirinya belum memakan apapun dari semalam.

"Pahit jamunya, Nek. Lagian, Sateria nggak pegel pegel, kok," sahut Sateria dengan tatapan memelas.

Sejak tadi, jamu yang diberikan nenek Sina tak ia sentuh sedikitpun. Dari aromanya saja, ia dapat merasakan bahwa cairan itu penuh dengan kepahitan, seperti hidupnya.

Nenek Sina menepuk pelan paha Sateria. "Itu bukan untuk pegal-pegal saja! Neon juga sering nenek buatkan, biar kamu sehat!"

Pikiran Sateria melayang, membayangkan ekspresi wajah Neon yang pastinya tertekan. Jamu itu adalah minuman keramat yang seringkali ia dan Neon hindari sejak kecil. Dahulu, mereka bisa terbebas dari jamu itu hanya bermodalkan tangisan dan kabur ke rumah tetangga, atau bahkan melompat ke kolam renang di rumah Sateria. Namun saat ini, sayangnya cara itu sama sekali tidak dapat dilakukan lagi.

Maka, mau tidak mau dan suka tidak suka, Sateria menyeruput jamu itu dengan mata terpejam. Alisnya mengkerut, merasakan pahitnya hidup yang seakan ia seruput.

SATERIA J.A   [ON GOING] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang