Bab XXIV.

34 11 2
                                    

Semua orang merasa penasaran dengan hal yang ingin diucapkan oleh Arina. Gadis yang biasanya frontal dan ekspresif tersebut seketika menundukkan kepala di depan Bharani dan matanya memancarkan kecemasan.

"Saya mau minta maaf." Tutur Arina dengan suara yang tertahan di balik tekak.

Otomatis kedua mata Bharani terbelalak dan tangannya menahan tubuh Arina agar tidak semakin membungkuk. "Arina, kenapa minta maaf? Kamu nggak salah, ini semua sudah takdir dan tidak ada yang perlu disalahkan." Bharani menjawab dengan panik.

"Awalnya saya berpikir bahwa semua ini terjadi karena para ksatria yang membunuh Sander tanpa alasan, membunuh semata-mata karena mereka ingin sekolah. Tapi, andai saja Sander nggak keukeuh untuk menikahi Ningrum atau menentang kerja paksa itu, mungkin kutukan ini nggak akan pernah diucapkan oleh Ningrum dan keluarga para ksatria akan baik-baik saja sampai hari ini. Saya mau minta maaf karena ulah leluhur saya, kalian harus menderita selama 200 tahun dan dikekang oleh kutukan." Untuk kesekian kalinya pipi Arina dibasahi oleh air mata.

"Rin," cepat-cepat Vikal menghampiri Arina dan berlutut di hadapannya, "ini bukan salah kamu, dan benar apa kata ibu Bharani, nggak ada yang salah di dalam peristiwa ini. Kamu cuma perantara, sosok yang kebetulan hadir di van Ridders dan memiliki hubungan dengan Sander. Ini bukan salah kamu."

"Saya benar-benar minta maaf. Ini semua sepenuhnya kesalahan leluhur saya, baik Ningrum maupun Sander, kutukan itu seharusnya nggak pernah ada. Abimanyu nggak seharusnya menanggung ritual setiap tahun, Adji Putih nggak seharusnya meninggal dunia, dan Tanubaya nggak seharusnya mengasingkan diri. Saya sungguh minta maaf."

Bharani memeluk Arina dan mengusap bahunya dengan penuh afeksi. "Iya, Arina. Jika memang itu yang harus kamu lakukan, maka kami memaafkan kamu. Seluruh keluarga Tanubaya memaafkan kamu dan leluhurmu. Kami nggak pernah sekalipun merasa dirugikan dengan kehadiran Sander maupun Ningrum di dalam keluarga kami. Berkat Sander keluarga kami bisa sekolah dan namanya dikenal selama ratusan tahun. Tapi kami juga memaafkan kamu, Arina. Dan kami juga senang bisa bertemu dengan kamu sekarang ini."

Setiap kata yang dituturkan oleh Bharani adalah anugerah bagi Arina. Hatinya sejuk mendengar kata-kata baik Bharani, mendengar kesaksiannya yang menerima Arina, dan juga hanyut dalam pelukannya meskipun kedua belah pihak adalah orang asing terhadap satu sama lain.

Kedua mata Arina terlihat membengkak parah, wajahnya pucat nan kusam, belum lagi luka-luka pada perutnya yang membuat si nona semakin sulit menggerakan tubuh. Arina benar-benar terlihat berantakan, tetapi itu semua merupakan awal dari ketenangan jiwa sosok Arina.

"Bu Bharani," Arina menarik napas dalam-dalam, "apa Ningrum meninggal di tempat ini? Kok... saya bisa bertemu dengan dia?"

Bharani mengangguk, "betul, Ningrum dan de Graaf pernah hidup di daerah kekuasaan Tanubaya, mereka juga melangsungkan acara pernikahan yang sangat sederhana di sini. Keluarga Tanubaya berkhianat kepada Ningrum di daerah ini, dia pun dikejar oleh tentara Belanda di sini, tetapi Ningrum tidak berhasil dibunuh oleh mereka karena sudah ditemukan mati bunuh diri. Di tempat di mana kamu melukai diri kamu sendiri, Arina..."

"Ningrum meninggal dunia tepat di samping bayinya, tapi sebelum tentara Belanda menemukan bayi itu, Tanubaya lebih dahulu menemukannya dan dibawa kabur. Begitu juga dengan jasad Ningrum yang kami kubur sendiri."

Arina menunduk untuk melihat perutnya yang terluka. Hal tersebut menyadarkan Arina, bahwasanya semua tindakan di bawah pohon beringin tersebut bukan semata-mata karena Arina gila, tetapi karena ia menemukan Ningrum dan dirasuki oleh Ningrum, menjadi Ningrum untuk beberapa saat dan merasakan penyiksaannya sebagai akhir dari kutukan yang Ningrum ucapkan.

Masuk akal. Jika ada orang yang harus merasakan kesakitan melalui karma, sudah pasti Arina lah orangnya.

Arina mengusap wajahnya perlahan, lalu menganggukkan kepala dengan senyuman. "Ya, saya ngerti, saya ngerti kenapa semua ini harus terjadi..." Napas ditarik dalam-dalam sebelum dihembuskan sebanyak mungkin, "bu, apa saya bisa ngunjungin tempat peristirahatan terakhir Ningrum?"

"Iya," Bharani langsung menyetujui, "besok pagi kita nyekar ke makam Ningrum."

Dan permintaan itu tidak hanya dilaksanakan secepat mungkin. Arina diperlakukan bagai putri mereka sendiri, dilindungi dengan segenap hati, diberikan semua fasilitas yang sekiranya dibutuhkan dalam perjalanannya menuju ke makam Kusumaningrum.

Dengan balutan pakaian serba hitam, keluarga Tanubaya, Arina, Vikal, dan Aldo kembali melewati pohon beringin di mana Arina sempat dirasuki oleh arwah Ningrum yang saat itu masih mencari akhir dari takdir. Saat menatapnya, Arina melihat betapa gagah dan asrinya pohon tersebut, kemungkinan juga yang saat itu menjadi tameng pelindung bagi jiwa Ningrum yang sedang putus asa.

Mereka berjalan lurus sekitar lima meter dari pohon beringin dan menemukan pohon lain yang tidak lebih besar, tetapi ditumbuhi dengan bunga-bunga elok di sekitarnya. Embun pagi menyegarkan bunga mawar dan sedap malam, rasanya sejuk, teduh, dan menenangkan.

"Ini makam Ningrum. Sesuai dengan namanya yang berarti 'seharum bunga', kami tanam bunga-bunga yang paling harum di atasnya." Kata Tommy.

Tak kuasa menahan sentimen, Arina langsung berlutut di depan bunga-bunga itu dan menyentuh tanah yang dipijaknya. "Ningrum, saya datang..." Hembusan napas dari celah bibirnya menggerakan angin pagi, membangunkan tumbuhan yang mengitari makam Ningrum. Dan begitu Arina menutup mata, ia bisa melihat semuanya dalam saduran warna putih, tetapi tidak dibuat buta.

Aroma wangi bunga semerbak, langkah kaki pun terdengar mendekat secara lengang. Dari balik kabut putih muncul sosok Sander dan Ningrum yang berjalan berdampingan—mengenakan pakaian yang sama persis seperti di kediaman mereka. Seorang prajurit berdedikasi Belanda dan putri terbaik tanah air, keduanya tersenyum kepada Arina.

"Arina, saya sudah pulang. Pulang ke rumah di mana saya seharusnya berada." Ucap Sander, raut wajahnya terlihat sangat bahagia. "Ini semua karena kamu yang mengantar saya pulang."

Arina menelan ludah. "Apa ini tandanya saya nggak akan melihat kalian lagi? Kalian akan menghilang selamanya?"

"Kamu akan menghilang demi kebaikanmu, Arina. Tapi percayalah bahwa kami akan selalu berada di dalam darahmu, darah adikmu, orang tuamu, untuk melindungi kalian setiap saat." Ucap Ningrum sambil menghampiri Arina lebih dekat. "Kamu adalah gadis yang pemberani, Arina. Lebih berani dari siapapun yang pernah kami kenal."

Air matanya berlinang lagi. "Perlakuan yang kalian terima di dunia ini sangat nggak pantas. Kalian nggak seharusnya mati dengan cara itu, nggak seharusnya kalian—" napasnya tercekat, "---kalian pantas mendapatkan kehidupan yang baik."

"Apapun yang terjadi di dunia waktu itu, kamu sudah menjadikannya jauh lebih baik. Arina, kamu adalah penyelamat kami. Terima kasih, Arina. Jadi tolong, hiduplah dengan baik di duniamu, makan yang baik, sekolah yang baik, jadi ksatria yang baik. Kami bangga dan sayang kepada kamu, Arina."

Tangisan Arina pecah atas konflik di dalam hati. Di satu sisi Arina merasa lega karena sudah terbebas dari beban yang selama ini selalu menakut-nakutinya, lamun di sisi lain, Arina begitu menghormati perjuangan Sander dan Ningrum hingga hatinya tersentuh.

Ia merasakan pelukan yang hangat, seperti pelukan orang tua, teman, orang tersayang tengah membalut hatinya yang berduka. "Arina, terima kasih karena sudah menjadi pemberani dan membantu saya. Dan maafkan saya yang selama ini menakuti dan menyakiti kamu. Tolong, sekali lagi maafkan saya."

Arina menganggukkan kepala selagi berderai-derai air mata.

"Kutukan ini kami patahkan." Keduanya berjalan mundur, melepaskan pelukan dari Arina dan menjauh.

"Nggak, tunggu—"

"Baik-baik ya, nak. Sekali lagi terima kasih karena sudah mengembalikan hal yang berharga kepada kami. Kami sangat menyayangimu, Arina."

Sander dan Ningrum melangkah mundur dan semakin menjauh, tetapi ketika Arina berniat untuk mengejar, tembok cermin yang kasat mata seketika retak, mematahkan bayang bayang Sander dan Ningrum dari penglihatan Arina.

Retak, retak, retak, dan tembok itu pun akhirnya roboh. Sander dan Ningrum sepenuhnya menghilang dari pelupuk mata. Semuanya menjadi gelap, sunyi senyap, tak berkehidupan. Beberapa detik kemudian Arina merasakan tiupan angin lembut menyisir rambut panjangnya.

Dan dengan demikian, Arina kembali ke dunia.


┕━━━━━━━♔━━━━━━━┙

To Be: Rebound ✔️ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang