Bab XV.

35 12 0
                                    

"Kita bisa sekolah lagi!"

"Kita bisa sekolah lagi?"

"Kita bisa sekolah lagi!"

Tidak ada yang dapat menggambarkan kebahagiaan tiga pemuda yang tengah saling berpelukan itu. Sebagai saksi mata, Arina ikut merasakan suka cita yang sedang bersemi. Bagaimana pun juga, Abimanyu, Tanubaya, dan Adji Putih adalah pemuda pribumi yang merupakan masyarakat kelas dua di tanah air sendiri. Kedekatan mereka dengan Sander atau individu Belanda lainnya tidak menjadikan mereka lebih berharga dibandingkan para penjajah itu sendiri.

Wajah para tentara tidak terlihat begitu senang saat ketiga calon ksatria merayakan hari yang istimewa tersebut. Arina menghujat mereka dalam diam karena tahu apa yang akan dilakukan para tentara itu sebentar lagi.

"Nggak mungkin mereka ngebiarin tiga bangsawan ini sekolah gitu aja tanpa ada maksud tertentu." Arina memintas, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa ia turut merasakan bahagia untuk para bakal ksatria.

Anotasi tersebut seakan mendapatkan respon dari Sander yang tiba-tiba berbalik badan dan menatapnya dengan wajah tersenyum.

Seketika Arina terdiam, memikirkan setiap kemungkinan bahwa Sander mengetahui keberadaannya di masa lalu. Kerongkongan Arina mengering, jemarinya bergetar, napasnya tertahan. Sander tersenyum sekilas kepada Arina dan melanjutkan kegiatannya bersama ketiga calon ksatria.

Apa maksudnya? Arina bertanya-tanya tentang kesadaran Sander akan keberadaan Arina di dekat mereka. Apa artinya Sander selalu bisa melihat Arina? Atau yang tadi itu hanya kebetulan saja?

"S-Sander?" Arina tersentak.

"Malapetaka akan terjadi sebentar lagi, Arina. Kamu harus menyelamatkan saya."

Terdiam.

Perlahan senyuman Sander malah terlihat mengerikan. "Jelajahi lah kota Bandung seperti kamu memutar balikkan waktu. Kamu sudah berada di jalan yang tepat. Saya percaya kepadamu."

Arina menghembuskan napas, kemudian mendengar pantulan suara dari kejauhan.

"Arina... Arina..." Tiba-tiba seluruh pandangan Arina menjadi gelap dan peristiwa berbahagia itu hilang dalam sekejap mata. Arina tidak lagi mendengar gamelan degung maupun sorak ramai orang-orang yang sedang berbahagia, tidak ada lagi Sander yang tersenyum kepadanya di alam ilusi, melainkan suara jangkrik dan telapak tangan seseorang yang menutupi matanya.

"Arina, kamu denger saya?" Suara Vikal kembali ke menyadarkannya.

"Hah... Vikal?"

"Kamu nggak apa-apa? Kenapa lama banget di sana?" Vikal kemudian menyingkirkan tangannya dari mata Arina, membiarkan Arina melihat kembali setelah kembali dari dunia ilusi di masa lalu. Arina menyadari dirinya yang sudah terduduk di serambi rumah, bersandar pada kaki Aldo yang menopang punggungnya.

"K-kamu... Vikal... kamu udah nggak apa-apa?" Bukannya menjawab, Arina malah bertanya kembali sebagaimana Vikal sempat dirasuki oleh leluhur Abimanyu sebelum Arina melaksanakan perjalanan waktunya.

"Saya nggak apa-apa, saya langsung kembali waktu kamu ambil alih." Jawab Vikal.

"Ambil alih?"

"Iya. Aldo bilang, saya kembali waktu kamu megang tangan saya. Makasih banyak." Vikal tersenyum sekilas kepada Arina, lalu sang puan menganggukkan kepalanya, merasa lega dengan keduanya yang selamat dari hal-hal yang tidak diinginkan, termasuk Aldo yang bebas dari gangguan gaib.

"Ada yang masih mau dicari di sini? Kalian berdua kelihatan capek banget. Kalau kalian udah nemuin petunjuk, sebaiknya kita cari tempat untuk beristirahat malam ini." Tambah Aldo.

To Be: Rebound ✔️ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang