Bab 9 - Aku Pulang

23 2 1
                                    

Andrea memandangi Keenan yang sedang berdiri di depan jendela dengan ponsel yang berada di telinganya. Raut wajahnya menunjukkan kekesalan, namun masih terlihat sangat tampan. Dengan balutan kemeja putih dan setelan celana hitam yang rapi.

"Udah aku bilang, nggak bisa, Ra! Ngerti nggak sih aku lagi sibuk di sini?"

Keenan berpaling dari ponselnya ketika menyadari bahwa Andrea sudah terbangun dan menatapnya dengan tatapan khawatir, "Nanti Aku telpon lagi."

"Lo udah bangun, Ann? Gimana keadaan Lo? Masih sakit? Gue tadi sadar kalo ada bercak darah di kasur."

Andrea yang malu kemudian tenggelam dalam selimut hangatnya. Sungguh, Ia benar-benar malu. Entah apa yang ada di pikirannya kemarin hingga menerima ciuman Keenan dan berakhir di ranjang. Sedetik kemudian rasa bersalah menyeruak dalam hatinya. Ia tidak seharusnya bercinta dengan pria milik orang lain, terlebih itu adalah tunangan teman sekelasnya dulu. Andrea kini merasa seperti pelacur, tidak jauh berbeda dengan adiknya yang berani tidur dengan Randy saat mereka masih berstatus pacar.

Keenan segera menyibak selimut yang menutupi wajah Andrea ketika ia mendengar suara isak tangis. Andrea menangis sejadi-jadinya. Ia kemudian memeluk tubuh polos Andrea dan mengusap punggungnya pelan.

"Ann, Gue minta maaf kalau emang sakit. Maaf Gue kelepasan."

Andrea menggeleng, "Gue ngerasa bersalah banget sama Kejora, Nan. Gue udah sebelas dua belas sama pelacur!"

"Gue udah bilang, nggak usah mikirin Kejora. Itu biar jadi urusan Gue sama Dia. Gue yang minta semua ini dan Gue bakal pastiin kalau Lo nggak terlibat sama urusan Gue dan Kejora."

"Tapi Gue ada di antara Lo dan Kejora, Nan. Ini udah nggak bener. Emang seharusnya Gue nggak nurutin permintaan aneh Lo ini."

Keenan mengecup hidung Andrea yang memerah, "Anggep aja ini takdir kita buat bersatu lagi, Ann. Meskipun cuma sebentar."

"Gue udah bikinin Lo sarapan, jangan lupa dimakan. Gue berangkat kerja dulu, ada meeting sama anak Himpunan."

Andrea mengangguk dan menerima kecupan kecil Keenan pada bibirnya. Senyum tipis muncul pada bibir mungilnya, disertai dengan pipi yang merona.

Kini ia harus berkutat dengan badannya yang terasa sakit. Tidak hanya pada selangkangannya saja, namun pada hampir setiap bagian tubuhnya. Memang ini pertama kali untuk Andrea. Selama ini Andrea memegang teguh prinsipnya untuk tidak melakukan hubungan terlarang sebelum menikah. Mungkin hal ini juga yang membuat Randy mengkhianatinya. Namun, entah mengapa prinsip itu menguap begitu saja kemarin. Bisa jadi karena kacaunya pikiran Andrea atau mungkin karena orang itu adalah Keenan.

Ia perlahan menyibak selimutnya dan berusaha untuk turun dari ranjang yang tidak terlalu tinggi. Andrea memunguti pakaiannya dan memakainya dengan cepat. Perutnya sudah meronta-ronta meminta untuk diisi. Ia berjalan menuju dapur dan membuat kopi panas. Paris masih setia pada cuaca dingin dan mendung. Walau sudah dua tahun tinggal di Prancis, Andrea masih tidak terbiasa dengan udara dingin. Ia bisa saja tiba-tiba terserang flu atau demam jika terlalu lama berada di luar ruangan.

Andrea memakan roti panggang dengan telur dadar dan selada di tengahnya. Enak, rasanya masih sama seperti sarapan yang selalu Keenan berikan padanya beberapa tahun silam. Ia membuka ponselnya yang ia acuhkan kemarin. Terdapat banyak pesan yang masuk, termasuk dari Ibunya.

Andrea tidak pernah membenci Ibunya. Ia hanya kecewa dengan sikapnya yang lebih menyayangi adiknya. Perlakuan tidak adil yang selalu ia terima, membuatnya semakin yakin bahwa ia bukan anak kandungnya. Ia yakin bahwa akta kelahiran miliknya adalah palsu.

Kak, pulang. Adek kamu menikah minggu depan. Kalau nggak mau bantu, Mama nggak masalah. Tapi Mama mohon, dateng ya. Adek diwalikan sama Om Arman.

Andrea sudah tidak bisa membendung air matanya. Kini ia benar-benar merasa bersalah. Tidak peduli seberapa sakit luka yang tergores, mereka tetap keluarga. Sebagai seorang kakak, ia sudah seharusnya menjadi bahu untuk bersandar, terlebih ketika sang ayah sudah tiada.

Ya, Ma. Rea pulang.

Saat ini yang menjadi pikiran Andrea adalah bagaimana caranya ia mendapatkan uang untuk membeli tiket pesawat. Ia tidak mungkin mengajukan student loan karena statusnya yang sudah lulus. Ia juga tidak mungkin mengajukan pinjaman pada bank. Ia tidak memiliki apapun di sini. Dan akhirnya ia menyadari bahwa hanya ada satu yang dapat ia andalkan saat ini.

"Ya, ada apa?"

"Keenan, Gue..." Andrea sejujurnya ragu untuk mengatakannya. Sungguh, ia sudah terlalu banyak merepotkan Keenan.

"Kenapa, An? Ada yang sakit? Gue pulang sekarang, ya!" Ucap Keenan dengan nada khawatir. Tidak biasa Andrea menelponnya, kecuali memang ada sesuatu hal yang penting.

"Ehh, Nggak perlu. Gue nggak papa, Nan."

"Terus kenapa telpon Gue?"

"Anu... Gue boleh pinjem uang? Empat belas juta aja, Gue janji bakal ganti setelah Gue kerja."

Keenan terdiam sejenak, "Uang segitu buat apa, An?"

"Gue harus balik ke Indo. Manda... Manda nikah minggu depan."

"Manda, Amanda adek Lo itu?"

"Iya."

Keenan tertawa dari seberang telepon, "Berani banget dia ngelangkahin Lo sebagai kakak."

"Ih, nggak lucu ya, Nan. Gimanaa? Bisa Gue pinjem ke Lo?"

"Nggak."

Andrea menghembuskan napas panjang, "Oke, Nan. Gue bakal coba ajuin ke bank–"

"Dengerin Gue dulu. Gue nggak mau pinjemin karena Gue bakal bayarin semua. Kebetulan Gue udah lama nggak pulang ke Indo."

Putar Balik!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang