BAB 3 - Move on?

18 3 0
                                    

Andrea melambaikan tangan kecilnya ke arah Keenan.

"Au revoir, Keenan!" Teriak Andrea yang sudah berada di balik mesin pintu otomatis. Wajahnya cerah, meskipun hatinya kini mendung.

Entahlah. Dia sendiri juga bimbang.

Bersama Keenan, ia bisa melupakan permasalahan yang sedang terjadi pada dirinya saat itu. Kini ia harus menghadapi semuanya kembali. Sendirian.

Kaya kita ga bakal ketemu lagi aja.

Andrea tersenyum membaca pesan dari Keenan. Ia tidak berniat untuk membalasnya. Tidak setelah ia tahu bahwa Keenan sudah bertunangan. Senyumnya pun mulai sirna. Keenan sudah bahagia dengan wanita lain. Namun Andrea, kini ia hancur mendapati fakta yang masih sulit ia terima.

Andrea masih memblokir semua kontak Randy, mantan kekasihnya yang sebentar lagi akan menjadi adik iparnya.

Andrea bersandar pada sebuah pilar, dekat dengan paron kereta api. Bau yang tidak sedap pun tak ia hiraukan.

Tangis Andrea pecah. Kesedihan yang ia rasakan mulai meluap seiring dengan kesendirian. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana.

"Pa, Rea capek. Rea mau ikut Papa."

Kakinya kini tidak lagi kuat menahan bebannya. Ia terduduk. Memeluk kakinya, menangis sesenggukan dengan dagu yang menempel pada lutut.

Selembar tisu menutupi pandangan Andrea yang sedikit kabur. Tanpa ia sadari, Keenan sedari tadi memperhatikannya jauh di balik pilar itu.

"Gue nggak tenang, An. Dan ternyata firasat gue bener."

"Keenan..."

Tangis Andrea semakin kencang. Keenan kini memeluknya erat. Ia meletakkan kepala Andrea pada dada bidangnya. Mengelus lembut punggung Andrea. Hatinya tersiksa melihat keadaan Andrea yang seperti ini.

"Nangis sepuasnya, An. Gue di sini."

Tanpa sadar, tiga puluh menit berlalu dengan suara isakan Andrea di tengah hiruk pikuk Stasiun. Keenan masih mengelus dengan sabar tanpa menghiraukan orang-orang yang mulai melihat mereka dengan tatapan sinis.

Memang benar. Cintanya masih terlalu besar untuk Andrea.

"Udah?" Tanya Keenan dengan lembut. Andrea mengusap air matanya. Kini ia mulai mengatur napas, mencoba untuk menghentikan tangisannya.

"Makasih, Nan."

"De rien."

Mereka duduk di sebuah kursi yang tidak jauh dari pilar. Keenan menggenggam tangan Andrea.

"Gue di sini, An. Gue ada di sini buat lo. Lo bisa nangis sepuasnya di pundak gue."

"Tunangan lo?"

"She'll be fine."

Andrea mengangguk lalu menerima pelukan hangat dari seseorang yang pernah ia cintai begitu dalam. Biarlah ia egois untuk saat ini. Yang Andrea inginkan adalah rasa nyaman yang mungkin saat ini hanya bisa ia dapatkan dari Keenan.

"Keenan, gue ketinggalan kereta."

"Nggak papa, kamu bisa menginap di apartemenku."

"Nggak perlu, Nan. Gue biar cari hotel aja."

"I insist."

"I insist too."

Keenan terkekeh melihat tingkah Andrea yang sangat sangat ia rindukan. Enam tahun bukan waktu yang sebentar, namun semua ingatan tentang Andrea tidak pernah bisa dihilangkan.

Andrea menerima uluran tangan Keenan. Ia kemudian bangkit. Bangkit dari duduknya, dan tentu bangkit dari keterpurukannya. Mereka berjalan beriringan dalam diam. Pikiran Andrea kosong. Sedangkan Keenan, memperhatikan tali sepatu Andrea yang terlepas.

"Bentar, An."

"Huh?" Keenan kemudian berjongkok, berusaha mengikat tali sepatu Andrea yang terlepas. Andrea mengamati perhatian Keenan dengan rasa cinta yang kembali muncul. Ia menggelengkan kepalanya mantap. Apapun yang ia rasakan, Keenan tidak boleh tahu. Ia tidak boleh merusak kebahagiaan Keenan.

"Dah! Yuk jalan."

Andrea mengangguk. "Merci."

"Je t'en prie."

"Nan anterin gue ke hotel kapsul di sebrang aja. Biar besok gue bisa ambil kereta pagi."

"Ok."

"Cuek banget sih?"

"Lagian lo gue tawarin nginep di apart gue, gratis, gue anter jemput. Tapi nggak mau."

Andrea menghembuskan napas kesal. "Lo nggak mikirin perasaan tunangan lo?"

"Gue udah bilang kan tadi, dia pasti bakal ngerti!"

"Ngerti apa sih, Nan? Ngerti kalo tunangannya selingkuh sama cinta lamanya yang balik lagi?"

"Bukan gi-"

"Nan, gue cewek. Gue nggak mau nyakitin sesama cewek. Cukup gue aja yang ngerasa diselingkuhin."

Keenan menaikkan alisnya, "Diselingkuhin?"

"Lo nggak perlu tahu."

"Tapi gue pengen tahu?"

"Gue nggak mau kasih tahu."

"Fine. Gue bakal cari tahu sendiri." Keenan berjalan mendahului Andrea. Jujur dia sangat kesal menemukan fakta bahwa ada seseorang yang berani menyakitinya.

"Lo nggak perlu segitunya buat tahu tentang gue, Nan. Kita udah lama berakhir."

Keenan menghentikan langkahnya. "Hubungan kita berakhir, bukan berarti gue berhenti cinta sama lo."

"Terus kenapa lo tunangan sama orang lain kalo masih cinta sama gue?"

"Nggak ada jaminan kalo gue bisa hidup berdua sama lo, An."

Mata Keenan menerawang jauh. Tidak ada harapan untuk Keenan dapat menikah dengan Andrea. Bahkan ia sendiri tidak tahu, apakah Andrea masih mencintainya. Saat ini yang ia tahu hanyalah Andrea yang sudah mencintai orang lain.

Andrea hanya bisa diam. Ia bahkan tidak tahu harus berbuat apa. Hidupnya penuh dengan luka. Ia pernah ditinggalkan. Berkali-kali. Keenan, sang Papa, dan sekarang Randy. Andrea sudah tidak ingin berharap pada apapun. Ia hanya ingin mencari pekerjaan yang layak. Uang beasiswa yang selalu ia terima, kini sudah terhenti seiring dengan selesainya pendidikan Masternya.

"Nggak ada habisnya kalo kita bahas masa lalu, Keenan. We should move on."

"Jadi bener, lo udah move on dari gue?"

Andrea terdiam. Hatinya ikut mempertanyakan tentang hal tersebut.

"I assume that's a yes."

Putar Balik!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang