BAB 1 - Pertemuan Kembali

57 3 0
                                    

Musim dingin segera tiba. Andrea yang seharusnya pulang ke Indonesia, kini lebih memilih untuk tetap tinggal di Prancis. Tidak tahu sampai kapan ia akan terus menghindar. Mungkin tahun depan atau bahkan pada tahun-tahun berikutnya. Ia tidak peduli akan betapa pusingnya ia saat mengurus perubahan visa. Ia juga tidak peduli akan susahnya mencari uang di negara ayam jago ini. Apapun yang terjadi, ia tidak akan pulang.

Sayang, aku minta maaf. Aku khilaf.

Kata-kata itu masih terngiang jelas di pikiran Andrea. Ia memejamkan mata sejenak sambil merasakan hembusan angin yang sangat dingin. Saat ini, udara sudah menurunkan suhunya hingga 4 derajat celcius. Hal itu tidak menggoyahkan tekad Andrea untuk tetap berjalan ke tempat di mana ia akan mengurus perubahan dan perpanjangan visanya.

"Ah, désolé monsieur."

Andrea tidak sengaja menabrak seseorang ketika ia ingin memasuki pintu kedutaan besar Indonesia. Pikiran yang berkecamuk di otaknya sudah mengalihkan seluruh perhatiannya.

"C'est bien."

Suara berat yang malah terdengar cukup merdu, membuat Andrea dengan sigap menoleh ke arahnya.

"Loh, Keenan?"

Keenan terperanjat mendengar suara cempreng yang sangat ia kenal.

"Lo ngapain di sini? Rapi bener gaya lo."

Keenan terkekeh, "Rapi lah, orang gue lagi kerja."

"Hah? Kerja? Aneh banget lo kerja di sini."

Keenan menyentil dahi Andrea gemas.

"Aduh!"

"Yang aneh mah elo. Dulu ambil kelas bahasa Jepang malah berangkat ke Prancis!"

Andrea terkekeh mendengar perkataan Keenan. "Gue waktu kuliah ambil jurusan sastra Prancis, Nan."

"Tuh kan aneh banget. Bahasa Jepang lo waktu SMA kan bagus, udah sampe N4. Ngapain lo capek-capek belajar bahasa lain!"

"Yaudah sih biarin. Biar gue dapet bule Prancis."

"Makan noh bule Prancis." Ucap Keenan sambil mengarahkan wajah Andrea ke arah seorang pengemis yang tanpa malu kencing di area publik.

Andrea meringis. Bukan, bukan orang seperti itu yang dia maksud.

"Hehe, yaudah gue masuk dulu. Jadwal wawancara gue jam 2."

"Sama gue aja."

Andrea mengangguk. Ia kemudian berjalan di belakang Keenan. Andrea terkesima dengan perubahan postur tubuh pria di depannya ini. Dulu yang ia ingat, Keenan tidak lebih tinggi darinya.

Sekarang, Keenan jauh lebih tinggi dari Andrea. Dan jauh lebih tampan. Jauh lebih seksi.

Andrea memukul kepalanya pelan. Merasa bodoh telah memikirkan hal seperti itu.

Andrea menghentikan langkahnya ketika ponsel yang berada di genggamannya berbunyi. "Nan, gue angkat telepon dulu ya."

Keenan mengangguk, "Ruangan gue di sana, kalau ada apa-apa samperin aja."

Andrea meninggalkan Keenan setelah mengamati letak ruangan yang ditunjuk oleh Keenan. Ia menghembuskan napas lelah. Entahlah apa yang harus ia lakukan saat ini. Tangannya terasa berat untuk mengusap layar handphonenya ke atas.

"Ya, Ma. Ada apa?"

"Kamu udah pesen tiket?"

"Belum, Ma."

"Gimana sih? Kuliah kamu kan udah selesai, ngapain lama-lama di sana?"

"Rea mau kerja di sini aja, Ma."

"Nggak, kamu pulang sekarang."

"Rea nggak mau, Ma. Lagian ini Rea udah di kedubes, mau perpanjang visa."

"Sejak kapan kamu jadi berandalan begini? Nggak nurut sama Mama!"

Andrea tersenyum kecut. Memang bener aku ini berandalan? Batinnya.

"Udah lah, Ma. Lagian Adek juga udah selesai kuliah kan. Bentar lagi juga Rea udah nggak perlu biayain kuliah Adek."

"Jadi kamu masih belum ikhlas? Manda adek kamu, Rea. Kenapa sih kamu nggak seneng kalo Adek bahagia?"

Tanpa sadar Rea sudah meneteskan air matanya.

"Udah, Ma. Rea nggak mau bahas itu."

"Randy lebih cocok sama Manda. Lagian, Manda duluan kan yang ketemu sama Randy."

"Tapi Randy pacar aku, Ma."

"Pokoknya kamu pulang, bantu Mama persiapkan pernikahan adek kamu."

Tangisan Andrea sudah tidak bisa ia bendung lagi. Andrea terisak dalam diam. Mencoba untuk tidak menunjukkan tangisannya di hadapan sang ibu.

Sebuah tangan mengusap lengan Andrea dengan lembut. Andrea menoleh dan mendapati Keenan menatapnya dengan ekspresi seolah bertanya tentang keadaanya.

"C'est ok."

Keenan mengangguk dan memberinya sedikit jarak untuk menenangkan diri.

"Rea nggak janji, Ma."

Andrea mematikan teleponnya. Ia menarik napas panjang, demi menenangkan hati dan pikirannya yang sedang kacau.

Keenan menatapnya dengan perasaan yang campur aduk. Senang ia bisa kembali melihat gadis ini, namun sedih ketika mendapati gadis yang selama ini masih ia cintai menangis.

"An, lo ada masalah apa?"

Andrea menoleh, "Nope, nggak ada apa-apa kok."

"Yaudah kalau belum mau cerita. Yuk gue anter ke tempat wawancara."

Andrea merapikan bajunya dan mengubah ekspresinya kembali menjadi gadis ceria.

Andrea menyipitkan matanya, memandang ke penjuru arah untuk mencari dimana keberadaan Keenan. Wawancara berjalan dengan lancar, meskipun ada sedikit pertanyaan yang ia bingung untuk menjawabnya. kini ia sedang mencari Keenan. Akibat memori igatannya yang sangat pendek, ia lupa di mana letak ruangan Keenan. Ia berdecak kesal.

Kenapa tadi nggak minta nomornya Keenan ya? Batinnya menyesal.

Andrea kemudian melangkah ke arah resepsionis yang berada tepat di sebelah pintu masuk.

"Bonjour." Sapa Andrea kepada resepsionis yang sedang bertugas.

"Bonjour, est-ce que je peux vous aidez? Ada yang bisa saya bantu?"

"Di sini apa benar ada staf yang bernama Keenan? Keenan Ramadhan Putra."

Resepsionis tersebut mengangguk. "Benar, Ibu. Namun untuk saat ini Pak Keenan sedang ada meeting dengan himpunan mahasiswa Indonesia."

"Boleh minta nomor pribadi Pak Keenan?"

"Mohon maaf, Ibu. Saya tidak bisa memberikan nomor pribadi staf tanpa persetujuan yang bersangkutan. Namun, jika Ibu berkenan untuk meninggalkan pesan, akan saya sampaikan setelah meeting selesai.

Andrea mengangguk dan segera menuliskan nomornya di atas kertas yang diberikan oleh si resepsionis.

"Ini ya, Mbak. Mohon disampaikan ke Pak Keenan untuk menghubungi nomor tersebut."

Andrea meninggalkan gedung bertuliskan L'ambassade d'Indonésie dengan senyuman yang merekah di bibirnya.

Finally, I meet him again.

Putar Balik!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang