Chapter II: A Pair of Doves

84 12 1
                                    

Washington DC.

-adalah tempat yang sudah menjadi langganan kedatangan Harsya bersama keempat pengawal muda pribadinya sejak 5 tahun yang lalu. Pria yang berusia memasuki kepala tujuh itu begitu menikmati musim semi di ibukota negara Amerika Serikat sore hari. Sembari melepas penatnya, ia akan sangat senang ketika melihat beberapa burung dara mendekat ke arah mereka. Dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang ia memberi hewan bersayap itu biji-bijian yang sempat ia beli sebelumnya.

Matahari nyaris berada di ufuk barat. Namun Harsya masih belum ingin beranjak dari area monumen Washington setinggi 169 meter itu. Denny, salah satu pengawal paling muda yang memiliki indera penciuman tajam soal makanan sedikit menarik lengan sang mantan jenderal.

"Pak, saya cium bau makanan. Boleh kita pergi ke situ?" tanya Denny sembari menunjuk banyak orang sedang berkerumun di sepanjang jalan berhias bunga sakura itu.

 Boleh kita pergi ke situ?" tanya Denny sembari menunjuk banyak orang sedang berkerumun di sepanjang jalan berhias bunga sakura itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ah, sakura. Itu mengingatkannya dengan sang mantan istri.

Harsya sedikit menyunggingkan senyumnya. Membuat keempat yang lebih muda menaikkan alis mereka bersamaan.

"Kalian duluan saja." Denny bersorak dalam hati.

"Bapak gimana? Saya temenin deh, bapak kan jalannya cimit-cimit gak bisa cepat kayak kami." Pengawal lain bernama Anom menyuarakan pendapatnya yang dihadiahi cubitan kecil dari Harsya dan tatapan tajam dari Yoga. Anom meringis kikuk.

"Udah gak papa. Gausah khawatirin bapak. Sok, kalian mau kulineran."

Dengan langkah ceria Anom, Denny, dan juga Tristan pergi tanpa ragu meninggalkan sang jenderal sendirian dengan tongkat kayunya. Berjalan terbata-bata sambil terus menyeimbangkan tubuhnya.

"Ayo, pak. Biar saya temenin bapak duduk di sana."

Si duda berusia 38 tahun -Yoga-, menemani langkah Harsya di sampingnya yang masih setia memegang pakan burung tadi. Pria tua itu tak heran dengan sikap Yoga, merekapun duduk di salah satu bangku taman yang memperlihatkan pemandangan menakjubkan musim semi tahun ini.

"Ini pertama kalinya saya lihat bunga sakura lagi, setelah saya bercerai," ungkap Harsya membuka pembicaraan. Yoga melirik sang ayah di sampingnya itu sambil berdeham pelan.

"Pasti kenangan bapak muncul lagi ke permukaan."

Harysa menanggapinya dengan mengulum bibirnya. "Yah... itu sering kali terjadi. Kalau dia masih jadi istri saya, dia pasti senang sekali lihat bunga sakura di sini."

"Saya ingat, terakhir almarhum ayah saya mengawal Ibu Kirana sebagai anak jenderal waktu itu, beliau suka sekali bunga ini. Dan maafkan almarhun ayah saya pak, beliau tidak sengaja mendengar--kalau ibu rindu sekali dengan bapak."

Kedua netra itu memanas. Harsya berusaha menahan air matanya dengan mengalihkan pandangan. Terlihat Anom yang sudah kembali dengan sebuah hot dog di tangan kanan dan seporsi telur gulung di tangan kirinya.

Not for Sale | DdeungromiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang