Chapter V: Double-edged Sword

63 7 1
                                    

Istana negara hari ini dipenuhi oleh puluhan wartawan yang sedang meliput berita peminangan anak presiden oleh salah satu anggota TNI.

Harsya; dengan pakaian formal dan sopannya ia sedang meminta restu kepada calon ayah mertuanya. Hal itu banyak disaksikan oleh ratusan orang, bahkan seluruh rakyat Indonesia lewat saluran televisi hitam putih.

Pemuda berpangkat Letnan Jenderal itu tengah berlutut di hadapan ayah dari kekasihnya. Menyatukan tangan seraya memejamkan mata. Ia meminta restu dengan sangat sopan dan lembut. Terdengar sebuah keseriusan yang tersirat dari logat permintaan Harsya pada orang nomor satu di negara itu.

Sadana memposisikan diri sebagai calon ayah mertua merasa tersentuh melihat kesungguhan Harsya untuk meminang anak perempuan semata wayangnya. Ayah yang hanya memiliki seorang puteri di keluarganya itu menopang tangan pada kedua bahu Harysa. Menandakan bahwa ia merestui anaknya untuk bersatu dengan salah satu TNI berprestasi itu.

"Harsya, tolong jaga kepercayaan saya. Tanggung jawabmu sekarang adalah membahagiakan Kirana. Jangan buat dia menangis, buat dirinya selalu tersenyum," ungkap Presiden Sadana sambil menahan air mata keluar dari mata kanannya.

Ia terus menepuk bahu kokoh Harsya sembari mengulum bibirnya. Dengan mantap pemuda itu menjawab,

"Saya akan selalu membuat anak bapak satu-satunya itu bahagia. Terima kasih sudah menghadirkan Kirana di dunia ini, Pak Sadana." Harsya mendongak, menyunggingkan senyum tipisnya.

"Pegang kata-katamu itu, nak."

"Pasti, Pak. Karena saya salah seorang abdi negara, saya tidak boleh ingkar janji!"

Calon mertua dan calon menantu itu berpelukan hangat. Masih disaksikan oleh puluhan kamera yang menyiarkan secara langsung peristiwa tersebut. Para rakyat yang mendengar kabar tersebut turut merasakan sukacita berlebih.

Sorakan serta ucapan kebahagian bersahutan menyambut Harsya sebagai calon menantu Sadana.

Dari balik salah satu layar televisi berbentuk tabung itu, Silas juga ikut tersenyum lega. Ia bisa merasakan kegembiraan yang didapatkan anaknya usai berhasil merebut hati sang petinggi negara.

"Semoga kalian selalu bahagia, dunia maupun akhirat."

"Dan sejak hari itu hingga beberapa tahun setelah itu, saya hampir hilang akal, Tristan..."

Harsya mengerutkan dahinya. Begitupun sang ajudan yang senantiasa menemaninya saat ini. Pemuda itu masih bergelut dengan rangkaian kata Harsya namun ia tak berani menginterupsi. Tristan membiarkan atasan sekaligus mantan ketuanya itu melanjutkan cerita.

"Yang saya kira beliau adalah orang yang penuh kasih sayang ternyata salah..."

Harsya mendongak menahan air matanya keluar. Di tengah tenangnya suasana rumah itu, Tristan bisa merasakan kegundahan yang dialami Harsya.

"Orang yang saya kira bisa menjadi panutan negara itu berbalik arah jadi orang yang berbeda..." Pria itu menghela nafas.

"Tristan," panggil Harsya. "Ya, pak?"

Pria tua itu memandang ajudannya bak puteranya sendiri.

"Apa yang akan kamu lakukan kalau seandainya orang tuamu difitnah lalu dibunuh dengan keji oleh mertuamu sendiri. Dan dia masih hidup tanpa rasa bersalah sedikitpun?"

"Sejujurnya-di lubuk hati saya yang paling dalam," balas Tristan perlahan.

"Iya?"

Not for Sale | DdeungromiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang