"Terima kasih, Harsya sudah bersedia menjaga perbatasan selama 4 tahun dan berpisah dengan puteri saya..."
"Saya turut berterima kasih sudah mempercayakan tanggung jawab itu pada saya, Bapak."
Dengan penuh hormat pemuda itu menunduk pada sang mertua. Dalamnya rasa dikasihi dan dihargai membuat Sadana semakin mengakui ketulusan hari menantunya tersebut. Bagai orang tua dan anak kandung, keduanya larut dalam pelukan hangat yang sangat mengharukan.
Sadana memejamkan matanya erat berusaha menahan air matanya mengalir. Begitu pula Harsya yang mendongakkan kepalanya guna menghalau air mata menetes ke pakai ayah mertuanya.
"Terima kasih sudah bisa bertahan sejauh ini, Harsya. Saya tidak tahu apa yang harus saya perbuat untuk membalas perbuatan muliamu ini. Karena saya tahu kamu mempertahukan nyawa di sana dan kamu kembali dengan selamat. Semua itu adalah anugerah dari Yang Maha Kuasa."
Harsya tersenyum terenyuh. Kata-kata Sadana begitu menyentuh sanubarinya.
"Um, Harsya.." Sadana mengurai pelukan sambil menepuk bahu yang lebih muda.
"Saya rasa.. kamu bisa ambil cuti, untuk berkumpul bersama keluarga kecilmu. Habiskan waktu yang ada bersama istri dan anakmu. Saya tau, kamu pasti sangat merindukan mereka. Nikmatilah sekarang, waktu-waktu itu begitu berharga."
Harya kembali mengangguk. Dengan tegas ia menghadap Sadana sambil memberi hormat.
"Siap, laksanakan! Saya pamit bertemu Kirana, Pak."
"Silahkan, hati-hati di jalan!"
Lalu Harsya berlalu meninggalkan sang jendreal tinggi sendirian. Dalam kesunyian dan kehampaan. Dengan raut wajah yang tak terbaca Sadana bergumam,
"Semoga Tuhan selalu memberimu umur panjang."
***
"Oh kamu mau pergi nak?" tanya Silas.
"Iya, pak. Kira-kira 3 hari saja kami liburan di Surabaya, Pak. Takut-takut Pak Sadana panggil Harsya untuk bertugas kembali," ungkap Harsya.
Dari seberang telepon terdengar hembusan nafas berat. "Bapak mengizinkan, nak. Tapi kamu harus tetap hati-hati karena sedang banyak demo mahasiswa baru-baru ini... Mereka suka turun ke jalanan dan membuat onar."
"Iya, ayah," Kirana yang menjawab. "Kami akan selalu jaga diri kok."
Kekehan lembut turut terdengar dari mulut pria yang sudah memiliki cucu itu. "Baiklah. Tolong jaga diri kalian, baik-baik. Oh iya, Harysa di mana, Kirana?"
"Ini Harsya, pak," balas anak ke dua dari 3 bersaudara itu.
"Bisa kita mengobrol secara personal?" Setelah melirik Kirana sekilas untuk meminta izin dan memisahkan diri ke halaman belakang, barulah pemuda itu kembali membalas ayahnya.
"Bapak ingin bicara apa?"
"Ini soal kebijakan Pak Sadana, Harsya."
"Eum..."
"Bapak hanya ingin membagikan pendapat bapak yang tidak pernah digubris mertuamu."
Harsya mengangguk tanpa menjawab sepatah kata pun.
"Bapak ingin tanya sama kamu. Apa kamu merasa banyak keberatan di finansialmu akhir-akhir ini?"
"Jujur saja, sedikit pak. Bahan-bahan pokok yang biasanya aku dan Kirana beli jadi meningkat."
"Hm. Lalu bagaimana dengan yang lain?"
"Harsya rasa ada banyak kesenjangan sosial antar orang akhir-akhir ini."
"Bagaimana dengan pajak?"
"Aku dan Kirana merasa setiap bulan, angkanya semakin naik, pak. Mau itu pajak kendaraan atau pajak bangunan."
"Pak Sadana yang melakukan itu semua, Harsya."
"Tapi bukannya waktu lalu sudah turun?"
"Iya, hanya bertahan 2 minggu di bulan tiga. Lalu naik lagi di bulan selanjutnya."
Pemuda itu cukup tercengang mendengar penuturan sang ayah.
"Maaf Harsya lancang pada bapak, tapi bukannya Pak Sadana sendiri yang mengeluarkan peraturan perpajakan? Kenapa beliau melanggar aturannya sendiri?"
"Itu karena beliau manusia culas, Harsya. Bapak sudah peringatkan mertuamu berkali-kali tentang itu. Dana APBN juga terkena imbasnya. Semakin ke sini, dana yang dikorupsi juga semakin besar..."
"Harsya, kamu tahu 'kan hal-hal tersebut tidaklah dibenarkan negara?"
"Saya tahu betul, Pak."
"Harsya, bapak pesan satu hal. Jika Pak Sadana meminta kamu untuk turun menemani beliau, sebisa mungkin tolak dengan halus. Firasat bapak tidak enak. Jaga-jaga untuk 2 bulan ke depan, Harysa."
"Jaga Kirana, dan Juan juga."
Dalam relung hati yang paling dalam, pria yang lebih muda itu membenarkan sekaligus membayangkan sesuatu yang besar akan terjadi dalam waktu dekat.
"Jika bapak bilang begitu, kami akan selalu melindungi satu sama lain dan waspada."
"Laksanakan amanat bapak, nak. Setelah kepergian ibumu, bapak jadi sedikit parno dengan tingkah laku mertuamu. Tapi tidak apa, kalian harus selalu bersama. Bapak tutup dulu teleponnya."
"Iya, Pak. Sehat selalu dan—"
Tut tut tut
"Harsya sayang bapak."
***
Cuap-cuap author. 🍡
Halo! Maaf sekali, aku bikin chapter pendek hari ini. Semoga bisa update lagi besok atau lusanya. Dan sekali lagi maaf aku telat update karena diare berkepanjangan><
Terima kasih juga buat waktu dan kesetiaan kalian dalam nunggu & baca cerita inii. Huhu TT zuzur aku terharu~
N yeahh.. gitu aja sih dari aku, min 7 vote langsung ku gas bikin lagii.
See u next part bb! 👋
KAMU SEDANG MEMBACA
Not for Sale | Ddeungromi
Historical Fiction"Jika kamu diberi pilihan, mana yang akan kamu pilih; berpisah selamanya atau sama sekali tidak dilahirkan?" -- >> 17+ (harshword) >> alur maju-mundur Feb, 2024 Highest rank: #1 politic ©iam_starsky