Chapter III: Earthquake

64 11 0
                                    

"Bapak tahu anda sendiri telah menyalahi aturan dengan mengambil 53% dana APBN untuk membangun sebuah pulau pribadi dan membangun rumah pribadi. Lalu anggraran 17% nya digunakan untuk meng-import minyak bumi mahal dari Brazil. Padahal, di negara kita sendiri lebih banyak menghasilkan minyak bumi yang lebih berkualitas," ujar Silas sambil terus membenarkan letak kacamatanya.

"Hutang negara menjadi semakin besar tiap harinya. Pajak naik sebesar 5% per tahun sampai dengan sekarang. Bantuan pangan saat Idul Fitri kemarin tidak sampai ke tangan rakyat kecil. Akses jalan penghubung antar provinsi yang tidak layak dilewati..."

Pria berhidung mancung itu menatap besannya itu dengan tajam sekilas.

"... anda memilih untuk menenggelamkan mimpi rakyat, daripada harus mendengarkan keluh kesah mereka."

"Anda memusnahkan – daripada membiarkan mereka hidup aman dan damai sejahtera." Silas selesai membacakan aduannya.

Terlihat sorot mata elang itu mulai terpancing untuk menguliti Silas saat itu juga. Namun sang petinggi negara menarik salah satu sudut bibirnya. Tersenyum remeh.

"Saya tidak tidak peduli dengan siapa saya berbicara, karena saya ingin mengajukan pendapat saya – sebagai kementerian keuangan. Mewakili seluruh masyarakat yang suaranya tidak anda dengar."

Silas menyimpan lembara dokumen itu di meja sang besan. Menumpu kedua telapak tangannya pada kedua sisi meja. Tatapannya tak lepas dari pria yang lebih tua darinya, sedetikpun.

"Pak Sadana yang terhormat. Berapa banyak nyawa yang bapak hilangkan setiap harinya?"

"Berapa banyak keluarga yang kehilangan salah satu anggota keluarganya hanya karena ingin suaranya di dengar oleh bapak?"

"Anda seperti penguasa yang haus akan jabatan. Haus akan harta. Haus akan pengakuan rakyat. Sehingga setiap orang harus tunduk pada anda. Anda ingin dihormati sebagai pahlawan tapi tidak pernah sedikitpun anda membicarakan suara-suara rakyat. Jika bapak waktu itu tidak naik menggantikan Pak Sajjad—sekarang bapak hanya seorang pensiunan TNI yang di pecat secara tak hormat."

"Sudah?" Sadana bersuara dengan tenang. Ia mengunci tatapannya dengan sang menteri.

"Anda bisa keluar, sebelum saya memajang kepala anda di atas perapian," lanjut Sadana. Silas tersenyum kecut sambil mendengus.

"Hah! Bahkan anda sendiri tidak dapat menerima kritik. Apa jadinya negara ini jika masih dipimpin oleh anda 3 tahun lagi? Saya tidak dapat membayangkannya betapa hancurnya negara ini. Saya tidak akan diam saja. Setelah ini, tunggu saja. Akan ada gebrakan-gebrakan besar menanti bapak."

"Pintu keluar di sebelah sana, Pak Silas."

Pria jangkung itu menyempatkan diri berdecak sambil mengangkat topinya sebentar dan berbalik meninggalkan ruangan menyesakkan tersebut. Sadana menyeringai. Sesaat kemudian melepaskan tembakan pada sebuah foto keluarga besarnya dengan Silas, saat pernikahan anak mereka.

Tembakan tersebut sedikit melenceng, hanya mengenai separuh kepala Silas. Namun tetap saja Sadana puas dengan tembakan tersebut.

Ia berharap suatu saat nanti, dirinya bisa melumpuhkan Silas dengan tangannya sendiri.

***

"Ayah, Juan ditemenin dulu ya. Saya mau belanja susu di warung Bu Marni," ujar Kirana seraya memakai sandal bakiak di teras.

Harsya beserta Juan kecil digendongannya menghampiri sang istri. Bayi berusia 6 bulan itu mengenyot jempolnya hingga air liurnya menetes. "Hati-hati, ibunya Juan. Saya juga mau nitip rokok marlboro satu bungkus."

Not for Sale | DdeungromiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang