"Apa yang akan saya dapatkan jika saya menikahimu?" Ucapan itu berhasil menyadarkan Anye. Tapi juga cukup mampu membuat Anye merasa tubuhnya menggigil panas dingin.
"T-tuan.."
Anye mundur selangkah saat pria di depannya maju lebih dekat ke arahnya. Membuatnya melangkah mundur demi menjaga jarak.
"Saya tanya sekali lagi, Anye! Apa yang saya dapatkan jika saya menikah denganmu?" Ucapan itu penuh penekanan. Juga Anye tak lagi mampu bergerak saat lengannya di tarik. Di tahan hingga Anye tak lagi mampu menjaga jarak.
"Kamu hanya punya waktu-"
"Apa pun!" Sela Anye. Seakan tak lagi mampu berpikir jernih. "Apa pun yang anda inginkan dari saya. Saya akan memberikannya."
Abhy menarik seringainya. Dan itu cukup mampu membuat Anye merasa kakinya gemetar hebat. "Termasuk nyawamu?"
"Ya."
Jawaban mantap itu menyurutkan seringai Abhy. Dia cukup terkejut dengan jawaban wanita di depannya ini. Demi menutupi keterkejutannya, Abhy berdehem. Melepaskan cengkramannya hingga membuat Anye mundur dan mengusap-usap lengannya yang sempat Abhy cengkram.
Di sana Abny bisa melihat rona kulit wanita itu berubah kemerahan. Diam-diam Abhy mengamati apa yang ia lakukan itu.
"S-saya ... Saya akan melakukan apa pun yang anda inginkan. Saya juga berjanji akan menjadi istri yang baik."
Kening Abhy sedikit berkerut mendengar itu. Membawa kakinya melangkah mendekat. "Istri yang baik?"
Anye ikut mundur saat Abhy terus melangkah mendekat. "Saya bisa memasak, membersihkan rumah. Dan-"
"Kamu kira saya mencari istri untuk dijadikan pelayan?!"
Langkah Anye terhenti. "Y-ya?" Dia mengerjab-ngerjab. Seolah mencerna apa yang pria itu katakan. Bukankah seorang istri memang ditugaskan untuk itu? Begitulah kira-kira pemikiran Anye. Dan yang dia tahu, ibunya selalu menerapkan pemikiran itu padanya.
Tentang tugas seorang istri jika suatu hari ia menikah dan menemukan laki-laki yang akan hidup dengannya.
"Saya tidak perlu mengulangi apa yang saya katakan tadi, kan?" Tanya Abhy yang membuat Anye tidak tahu harus mengatakan apa. Dia masih terlihat bingung dan sulit mencerna segalanya.
"Mendekat!"
Anye melirik ke sekeliling ruangan. Hanya ada mereka berdua saat ini. Mendadak dia takut dengan pria di depannya. Apalagi saat menemukan tatapan mata pria itu yang-
"Anye!"Membawa langkahnya ragu-ragu mendekat. Anye berkali-kali menelan ludah saat dia berdiri di depan Abhy yang kini menatapnya intens.
"Tuan," Cicit Anye saat tiba-tiba Abhy mengulurkan tangannya tepat di depannya. Membuat Anye menatap tak mengerti pada telapan tangan pria itu. "Kenapa-"
"Saya akan memberikan kamu satu kesempatan." Telapak tangan itu kembali di tarik. Masuk ke dalam saku celana pria di depannya hingga diam-diam membuat Anye meliriknya sesaat. Entah perasaannya saja atau bukan, tapi pria itu hampir menyentuh wajahnya tadi.
Apa ada sesuatu di wajahnya?
Anye menelan ludah. Seharusnya dia berndandan cantik agar menarik perhatian pria di depannya ini. Agar pria itu meliriknya, bukan malah sebaliknya.
"Jika kamu bisa membuat saya memiliki alasan untuk menikahimu," Tubuh itu bergerak. Mencondong ke depan hingga jarak wajah Anye dan pria di depannya begitu dekat. "Saya tidak keberatan untuk menikahimu."
Kedua mata Anye membola lebar. Apa pria di depannya ini serius?
"Jadi pastikan besok," Abhy berbalik. "Jangan terlambat. Asisten saya akan menjemputmu pukul tujuh pagi." Abhy terus melangkah menjauh. Meninggalkan Anye yang masih diam di tempatnya. Berusaha mencerna apa yang baru saja Abhy katakan.
"Apa aku sedang berhalusinasi?" Gumam Anye. Lebih pada dirinya sendiri.
****
"Anda serius dengan yang anda katakan ini?"
Abhy melirik asistennya yang menghentikan langkahnya begitu mendengar apa yang harus pria itu lakukan besok pagi. Menjmput Anye di rumah wanita itu dan membawanya ke salah satu apartemennya. Saat ini mereka sudah tiba di kantornya. Dia bahkan harus rela melewatkan beberapa puluh menit waktunya itu terbuang sia-sia hanya demi menemui Anye.
"Kita harus mencobanya jika ingin tahu hasilnya."
"Bagaimana jika dia sama seperti wanita lainnya yang-" Abhy menoleh ke arah asistennya itu. Membuat Rian tak berani meneruskan ucapannya. "Sir-"
"Kamu lihatkan, bagaimana wanita itu menyentuh tanganku?" Abhy menatap satu tangannya yang pernah di sentuh Anye. Yang sejak saat itu sering ia pandangi seolah itu adalah sesuatu yang menakjubkan. "Aku tidak merasakan apa pun saat dia menyentuhku."
Rian ikut menatap tangan atasannya itu, lama. Sama persis seperti Abhy- yang seolah tak percaya dengan apa yang mereka dapatkan kali ini. Setelah sekian lama, baru kali ini mereka menemukan hal semacam ini.
"Tapi jika sampai ada yang tahu tentang penyakit anda ini. Bisa saja kita akan dalam masalah. Terutama untuk-"
"Karna itu, Rian." Abhy menatap asistennya itu sekali lagi. Tegas dan tajam. "Karna kita harus menyembunyikan semua rahasiaku, maka kita butuh dia agar rahasia ini tidak akan pernah terbongkar. Tetap aman tanpa ada satu orang pun yang tahu."
"Tapi, bagaimana jika dia mengkhianati kita? Kita tidak bisa percaya begitu saja pada orang yang kita sendiri tidak tahu asal-usulnya, Tuan. Apalagi dia itu orang-"
"Miskin?"
Rian mengangguk membenarkan. Membuat Abhy menyeringai lebar. "Itulah kelebihannya di sini, Rian. Dan aku punya rencana untuk wanita itu. Kamu hanya perlu mengikuti semua rencanaku."
"Lalu bagaimana jika dia sama seperti wanita pada umumnya? Yang saat mendekati anda, anda akan-"
"Karna itu kita lihat besok. Apakah dia sama? Atau malah sebaliknya?" Abhy menarik tipis seringainya. Membuat Rian hanya diam dan bungkam.
Meski tidak mengerti dengan pola pikir atasannya, namun Rian sama sekali tidak bisa berbuat apa pun selain diam. Mengikuti apa pun rencana atasannya itu. Yang kadang kala bisa sedikit gila.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wife
Lãng mạnAbhy dan Anye adalah dua orang asing yang terpaksa menikah demi kepentingan masing-masing. Abhy membutuhkan Anye, begitu pun sebaliknya. Sampai perjanjian pernikahan itu pun disepakati. *** Demi menyelamatkan Ibunya dari semua tuduhan, Anye harus m...