3. Shasha dan Awan

26 15 36
                                    

Namanya Shasha. Shasha Aurellia untuk lengkapnya. Teman baru yang Riri temukan di SMA.

Shasha adalah sosok yang periang. Sangat ramah kepada semua orang, senyumnya manis, karena itulah dia sangat disukai.

Berbeda dengan Riri. Setelah SMP, Riri memang bukanlah anak yang se-supel itu meski tetap baik.

Banyak yang bilang kalau Riri itu menyebalkan, candaannya jayus dan sedikit kaku. Meski begitu, Riri masih 'diterima' karena dia pintar.

Dari dulu, benar-benar dari dulu, Riri terkenal sebagai anak yang pintar. Juara kelas sampai ikut olimpiade beberapa kali, Riri adalah salah satu bintang yang paling dibanggakan sekolah.

Setidaknya, paling tidak sampai mamanya meninggal.

"Riri kelihatan gak fokus sama sekali." Shasha memajukan bibirnya beberapa senti sambil mengaduk-aduk es jeruknya. Dia dan Awan sedang duduk di bangku kantin, sibuk makan setelah ujian. Katanya, sih, healing.

"Riri juga lari tadi waktu ngomong sama aku," Awan menjawab dengan lembut, tangan kanannya mengelus pucuk kepala Shasha, "mungkin, yang dia perluin cuma waktu."

Shasha mengangguk setuju. Mulutnya sibuk mengunyah bakso sebelum akhirnya kembali berbicara.

"Tapi, Awan, aku gak suka lihat Riri terus-terusan sedih kayak gitu. Aku ngerasa ... dia sangat butuh temen di waktu-waktu yang sekarang."

"Siapa yang tahu?" Awan mengukir senyum sedih, "Sha, Riri malah mungkin butuh waktu sendiri untuk sekarang. Aku tahu seberapa dekat Riri dengan mamanya. Kita semua juga tahu, kalau kehilangan Mama itu bukan hal yang mudah."

Shasha malah terlihat semakin sedih. Tangannya tidak bisa diam terus mengaduk jus jeruknya.

"Sha," Awan sekali lagi memanggil dan mengusap bahunya, "Riri mungkin baru akan 'sembuh' dengan cara yang kayak gini, karena bahkan aku yang sudah jadi temennya sejak kecil pun ... gak terlalu paham Riri itu gimana.

Awan menghela napas. Dia sudah bersama Riri sejak kecil, tapi, tetap saja, dia masih tidak paham dengan gadis itu sepenuhnya. Lengannya bersama Riri seolah terpotong-potong, sepenggal-sepenggal.

Manusia ... kadang memang sangat mudah melupakan.

-o0o-

Sepulang sekolah, seperti selayaknya muda-mudi yang berpacaran, Shasha dan Awan pulang bersama. Bergandengan tangan, lalu peluk-pelukan di motor.

Lalu ... diteriaki guru di sekolah.

Masa-masa SMA yang indah. Pacaran seolah menjadi segala-galanya. Kebetulan, kelas mereka bahkan sampai guru sekali pun mendukung mereka.

Katanya, mereka itu serasi, Shasha cantik dan ramah, Awan juga rupawan dan periang. Couple goals, sebutannya di zaman sekarang.

"Awan, kenapa kamu namanya Awan?"

Mereka pulang bersama dengan mobil Awan setelah makan di kantin. Hujan di luar sana seolah tidak mengganggu mereka.

"Hmm, kenapa yaa?" Awan bertanya menggoda, lantas buru-buru menjawab setelah Shasha mencubit lengannya.

"Jawab!" omel pacarnya itu dengan wajah yang dibuat-buat marah. Walau di mata Awan, hal itu hanya membuat wajah Shasha terlihat semakin imut.

"Kata Bunda, dulu waktu aku mau lahir di kampung susah hujan. Aku sama Riri memang dibawa pulang ke kampung untuk lahir di sana kebetulan pula kampung kami sama." Awan terkekeh kecil sambil terus mengemudikan hujan.

"Terus, waktu kami berdua lahir, yang ternyata waktunya cuma beda dua hari, hujan turun. Bunda sama Mamanya Riri terus janjian, aku dikasih nama 'Awan' terus Riri ya dikasih nama Riri."

"Kenapa Riri? Kenapa bukan 'Hujan' gitu?" Shasha terus bertanya.

Awan terlihat mengingat-ingat beberapa hal sebelum akhirnya menjawab, "Kalau gak salah, Riri mau dinamain 'Rain' tapi karena neneknya kepeleset terus, jadinya Riri."

Shasha tertawa terbahak-bahak. Awan ikut tersenyum melihatnya.

Sebenarnya itu kejadian yang cukup lucu memang. Awan teringat bagaimana bundanya terpingkal menceritakan bagaimana stress-nya mamanya Riri karena nama anaknya salah dipanggil oleh ibunya.

"Jadi, kalian udah temenan dari kecil, ya?" Shasha manggut-manggut setelah selesai tertawa, "aku gak nyangka kalau sampai satu kampung."

Awan mengangguk. "Yaa, makanya aku suka dicie-ciein sama Riri."

Mendengar hal itu, raut wajah Shasha tiba-tiba berubah. Gadis itu memasang muka judes lalu membuang wajah ke kaca mobil.

Awan tertawa melihatnya. Sembari menyetir, satu tangannya menjawil pipi Shasha untuk membujuknya.

"Ya, tapi, jadiannya tetap sama kamu, 'kan?" goda Awan sambil mengedipkan sebelah matanya.

Shasha masih merajuk, hal itu membuat Awan memberhentikan mobilnya, mengambil jas hujannya dan berlari ke luar mobil. Menembus hujan hanya dengan jas hujan.

Shasha membelalakkan matanya lalu refleks ikut membuka pintu mobil. Namun, dia mengurungkan niat saat melihat seberapa deras hujan di luar sana.

Jadilah dia hanya terdiam di dalam mobil sambil menunggu Awan. Tiba-tiba saja, Shasha merasa menyesal karena sudah merajuk tidak jelas seperti itu.

Tak lama kemudian, Awan kembali masuk ke mobil. Tubuhnya basah sebagian karena memang jas hujan itu tidak menutupi seluruh tubuhnya. Wajahnya berseri-seri dengan tangan yang menggenggam se-plastik telur gulung.

"Nih, jangan ngambek lagi," bujuk Awan sambil menyerahkan se-plastik telur gulung itu kepada Shasha.

"Shasha cantik jangan ngambek lagii," lanjut Awan yang membuat Shasha tertawa terbahak.

"Apa, sih, Awan. Alay tahu, gak?"

"Alay-alay begini juga pacarmu, loh," jawab Awan sambil kembali mencubit pipi Shasha.

"Sakit, Awan!"

Awan terbahak saat merasakan Shasha yang berusaha memukuli tubuhnya sebagai bentuk balas dendam. Cowok itu mengelak sebisanya sambil tertawa.

Ya, mereka tertawa bahagia. Tanpa mengetahui, kalau Riri hampir pingsan karena menangis di atas nisan mamanya.

Lagipula, manusia memang seperti itu, 'kan?

November RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang