14. Pesta Kejutan (Gagal)

8 1 0
                                    

Ini ulang tahun terburuknya.

Riri menundukkan kepala. Gadis itu meremas ujung gaunnya dengan perasaan kacau balau menghantam dadanya.

"Kalau tahu begini, gak usah lo repot-repot buat pesta ulang tahun buat gue, Awan," lirih Riri sambil terus meneteskan air mata.

Sakit. Rasanya sakit sekali.

Riri terus menangis terisak-isak. Membiarkan make-up yang sebelumnya sudah dipakaikan oleh Shasha itu luntur di wajahnya.

Riri tidak peduli. Hatinya sakit sekali.

Tidak ada orang lain yang datang di ulang tahunnya. Awan memang sengaja membuat ini menjadi ulang tahun private yang didatangi oleh mereka-mereka saja. Namun, sekarang apa?

Shasha sakit dan Awan mengantarnya. Riri bagaimana? Menangis terisak-isak sendirian?

Kenapa sekarang dia akrab sekali dengan kesepian?

Untunglah tadi dia masih bisa meminta membawa motor. Jadi, dia bisa pulang sendiri walau Awan dan Shasha sudah pergi.

Memang orang lain yang membawa motornya karena Riri memaksa. Tadi, dia juga naik mobilnya Awan.

Riri memang tidak terlalu bisa naik motor, tapi, untuk kondisi kali ini, mau bagaimana lagi? Riri kepepet. Tidak ada pilihan lain.

Jadi, gadis itu hanya menutup matanya. Menarik napas panjang sebelum akhirnya menyibakkan gaunnya dan mulai menjalankan motor itu.

-o0o-

Hujan deras mulai turun saat Riri menjalankan motornya. Beberapa orang menatapnya dengan pandangan aneh. Tentu saja, gadis cantik dengan make-up luntur dan gaun naik motor sendirian.

Pemandangan yang cukup 'unik' memang untuk ditemui.

Namun, Riri tidak peduli. Dia sudah terlanjur capek dengan keadaan. Terserahlah sisanya mau bagaimana. Yang dia tahu yang menarik gas sebesar-besarnya agar cepat sampai ke rumah.

Terserahlah nanti mau ditertawai oleh dua orang aneh di rumah itu atau bagaimana. Kalau terlalu sakit hati, dia bisa langsung menjambak mereka satu-persatu.

Semoga Papa tidak terlalu marah lagi kali ini saat Riri melakukan hal-hal yang demikian itu kepada dua tikus di rumah mereka itu.

Hujan turun semakin deras. Napas Riri seolah tertahan sebentar di dadanya. Dia jelas lupa membawa jas hujan.

Tak lama kemudian, benar saja, hujan turun dengan derasnya. Seolah badai yang mengamuk benar-benar.

Semuanya putih. Angin juga bertiup dengan tak kalah kencangnya. Riri menghela napas panjang, dia tidak tahu lagi harus bagaimana selain memacu motornya agar semakin kencang berjalan.

Namun, motor itu adalah motor tua. Itu bukanlah motor baru dengan performa fisik yang masih dengan yang masih sempurna. Riri tahu betul, itu adalah motor bekas yang Papa beli agar dia bisa lebih mudah ke sekolah.

Riri juga belum terlalu tahu bagaimana cara untuk mengoperasikannya sepenuhnya. Jadilah dia hanya terdiam dan berdoa agar semuanya baik-baik saja.

Namun, sepertinya, doa Riri kali itu memang tidak didengar oleh Tuhan, motornya mati. Entah apa yang salah.

Riri panik luar biasa. Dia turun dari motor dengan keadaan yang sudah lama berantakan. Dia tidak tahu lagi harus apa. Bingung dan panik menjadi satu.

Riri benar-benar pusing tujuh keliling. Dia tidak tahu lagi harus bagaimana. Gadis itu berbalik dan berusaha menatap setiap orang yang lewat di jalan yang sama olehnya. Mata Riri basah, dia benar-benar putus asa.

Beberapa orang itu melihatnya sebentar lalu kembali melaju seolah tidak melihat apa pun. Pupus sudah harapan Riri semoga mereka mau membantunya. Namun, hujan turun semakin deras dan Riri tidak bisa melakukan hal lain selain kembali berharap untuk sejenak lebih lama.

Lantas, bagaimana kalau berharap ternyata adalah sesuatu yang salah pula?

Satu orang, dua orang, tiga orang bahkan orang-orang bermobil melewatinya begitu saja. Pun dengan orang-orang yang bermotor. Ada banyak orang di sana, laki-laki, perempuan, ibu-ibu, bapak-bapak. Banyak juga remaja-remaja seumuran dengannya, tapi, mereka semua tidak peduli.

Mereka terus melaju begitu saja, sama sekali tidak menaruh perhatian kepadanya. Riri benar-benar jadi putus asa, kepalanya buntu, hal yang bisa dia lakukan hanya terus memutar-mutar kunci motornya berusaha dan terus berdoa agar motor itu kembali bisa dihidupkan.

Namun, sekali lagi, tidak ada. Tidak ada yang membaik, semuanya sama. Motornya tetap mati.

Riri benar-benar ingin menangis sekarang, tapi, tidak ada yang keluar dari tubuhnya. Ekspresinya tetap datar dan air mata menolak keluar dari sana. Kalimat meminta tolong pun juga menyangkut di tenggorokan. Jadilah dia tetap melakukan hal yang sama berulang kali.

Memutar kunci motor, menghidupkan gas. Begitu saja terus selama beberapa waktu. Hujan semakin deras, seolah tidak mengerti dengan keadaan Riri  sekarang, alam justru membuatnya semakin tersiksa. Gaunnya basah kuyup, rambutnya lepek, entah bagaimana pula riasan di wajahnya sekarang.

Riri benar-benar malu sekarang. Dia ingin lari. Dia ingin kabur dari dunia, tapi, dia tidak tahu bagaimana caranya.

Hari ini adalah hari terburuk untuknya. Setidaknya, setelah hari meninggalnya Mama.

Entah sudah berapa lama dia terjebak di situasi seperti ini, jadilah dia hanya menarik napas lalu menghembuskannya dengan kasar. Tidak ada pilihan lain tentu saja. Dia tidak mungkin berjalan mendorong motornya dengan high heels setinggi itu.

Riri melepasnya, dia telanjang kaki di jalan aspal yang basah. Mendorong motornya di keadaan jalan yang tebing. Benar-benar menyedihkan dan memalukan. Tidak ada yang menolong.

Ah, manusia, bukankah kita adalah makhluk sosial?

Riri selalu diajarkan itu sejak sekolah dasar. Namun, kali ini hal-hal seperti itu seolah tidak berlaku. Manusia adalah makhluk individualis yang paling mementingkan dirinya sendiri.

Manusia adalah makhluk penuh ego yang sungkan untuk membantu orang lain. Itulah yang Riri dapat dari pelajaran dan kejadian hari ini. Bahkan setelah Riri menangis semakin keras pun, air matanya seolah tertutupi oleh hujan.

Dingin dan sepi.

Hujan turun semakin deras. Riri juga menangis semakin keras. Dia pasrah, toh, tidak akan terjadi apa-apa.

Suara motor semakin bising di belakangnya, Riri kembali mendorong motornya, tidak mau peduli. Suara motor itu salah satunya melambat, Riri berusaha membelot dari hatinya.

Riri tidak mau berharap, tetapi, saat dia benar-benar berbalik, ada orang di sana. Sosok laki-laki yang seumuran dengannya masih memakai seragam sekolah yang kancingnya terbuka dan kaos hitam di dalamnya.

“Boleh gue bantu?” tawarnya singkat.

Riri melirik sedikit, dan saat itulah dia bisa membaca namanya.

Guntur Elang Dewandra.

November RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang