"Awan, sejak kapan kamu manggil Riri dengan 'Ganish'? Lucu soalnya."
Itu masih jam tujuh pagi kurang sedikit. Shasha bersandar di pundak Awan sambil membaca sedikit-sedikit rumus matematika yang sudah dicatatnya tadi malam.
Hari ini ulangan matematika dan Bahasa Inggris dan Shasha tidak mengerti sama sekali. Biasanya, Riri-lah yang akan mengajarinya, tapi, kali ini, Riri pasti tidak bisa.
Shasha juga tidak berencana untuk menganggunya. Paling-paling, nanti, dia harus mencari sumber jawaban lain yang juga dapat dipercaya kredibilitasnya
"Oh, mamanya Ganish dulu manggil dia Ganisha, jadi aku ikut juga, tapi, biar gak sama banget aku ganti pake Ganish. Lucu, 'kan?" jawab Awan sambil sebelah tangannya sibuk mengelus rambut Shasha.
Lucu. Rambut ikal Shasha yang panjang itu memang sangat menggemaskan untuk dimainkan dan dielus.
"Oh, begitu," Shasha mengangguk, tapi, bibirnya sedikit maju dan mengerucut, "iya, lucu banget."
Awan tertawa saat melihat pacarnya itu yang lagi-lagi cemburu. Dijawilnya hidung Shasha lalu menarik bukunya.
"Ngambek mulu, ih! Jadi jelek tau mukanya!" ledek Awan sambil tertawa lebar.
"Biarin! Biarin! Pacar kamu memang jelekk!" Shasha protes saat bukunya diambil. Tangannya melambai-lambai di udara dengan kaki yang menjijit, mencoba untuk mengambil bukunya yang diambil Awan.
Awan terus tertawa ngakak saat melihat reaksi pacarnya itu yang menurutnya menggemaskan. Namun, sedetik kemudian, air mukanya berubah.
"Ganish? Kenapa acak-acakan banget?"
Riri menoleh, seluruh tubuhnya pegal dan mati rasa karena menangis semalaman dan baru makan tadi pagi. Matanya masih merah, atau mungkin, malah lebih merah.
"Gak papa."
Hanya itu jawaban Riri sebelum dia kembali ke kelas. Terus berjalan. Tanpa pernah lagi menoleh ke belakang.
Awan menunduk lalu tanpa sadar meremas buku Shasha di tangannya. Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan di dalam dadanya.
-o0o-
Kelas mereka memang terbagi menjadi dua di ulangan semesteran kali ini. Absen satu sampai delapan belas di ruang tujuh, lalu absen delapan belas sampai 37 di ruang delapan.
Awan yang notabennya memiliki nama berawalan huruf 'A' mendapat kursi di ruangan tujuh. Hal inilah yang membuatnya terpisah dari Shasha dan Riri.
Seperti yang sudah diduga oleh Shasha tadi, dia kelimpungan. Kelabakan dalam menghadapi angka-angka di depan matanya.
Riri di ujung kanan bergeming. Duduk diam dalam hening. Tak ada suara dari mulutnya, tak ada gerakan dari pensil dan penanya.
Riri lagi-lagi melamun.
Sejak mamanya meninggal Riri memang seperti itu. Dia hidup dalam dunia yang dia bangun sendiri. Riri membangun 'gelembung' yang membatasi dia dan kehidupan nyata.
Gelembung itu kedap suara, tidak digoyahkan bagaimanapun keadaan di sekitarnya. Gelembung Riri yang besar, gelembung Riri yang kesepian.
Shasha menggaruk rambutnya saat tidak ada satu soal pun yang bisa dijawabnya. Diangkatnya kepala lalu menoleh kiri-kanan, siap melempar kertas meminta jawaban.
Berhasil! Kertas itu mengenai salah satu temannya. Shasha tertawa saat temannya itu mulai menuliskan jawaban.
Begitulah cara Shasha melewati ulangan matematika dan Bahasa Inggris. Transaksi jawaban itu pun akan terus berlanjut, sampai ada guru yang berhasil menangkap mereka.
-o0o-
Sesudah ulangan, Shasha dan Awan sudah membuat rencana, mereka akan menangkap Riri bagaimanapun caranya. Tidak boleh sampai gagal.
Jadilah saat Riri berjalan beberapa langkah ke luar dari ruang ulangan, Shasha langsung menarik tangannya. Menyeretnya ke mobil Awan.
"Kita makan mi ayam, Ganish!" ujar Awan sambil tertawa riang.
Riri menghela napas. Dia memejamkan mata lalu bersandar ke kaca mobil Awan, memandangi pemandangan di luar.
Ah, Awan masih saja mengingat makanan kesukaannya.
-o0o-
Mereka berhenti di kedai mi ayam kesukaan Riri. Salah satu tempat yang paling sering dikunjungi oleh Riri saat Awan belum punya pacar, dari SMP sampai sekarang.
Riri agak sedih melihatnya. Sebenarnya, bahkan jauh sebelum dengan Awan, ini juga tempat favorit Riri dengan Mama.
Mama ....
Riri mengusap matanya dengan kasar. Dia benci saat harus lagi-lagi menangis karena rindu Mama. Riri benci, sekaligus marah dengan kenyataan.
Namun, manusia biasa sepertinya bisa apa?
Inilah salah satu luka paling sakit saat ditinggalkan karena kematian. Seluruh pojok kota akan meningkatkan kalian tentang kenangan yang ada.
Benar-benar seluruh sudut kota ....
Riri 'didudukkan' di salah satu kursi kayu di sana oleh Shasha sementara Awan memesankan makanan untuk mereka. Shasha membuka topik pembicaraan, seperti biasa, dia selalu punya banyak topik untuk dibahas.
"Riri, nama panggilan kamu cantik banget!" puji Shasha sambil terkekeh kecil, "itu jadi ngingetin aku sama sesuatu. Sesuatu yang manis sama ... lucu? Pokoknya yang bagus-bagus?"
Shasha terus berusaha untuk mengingat sampai akhirnya dia tiba-tiba teringat sesuatu, "Ah, garnish!"
Ada keheningan yang canggung sesaat setelah Shasha mengatakan itu. Riri hanya melirik sekilas, lalu kembali fokus menatap dinding kedai itu dengan tatapan kosong.
Tak lama, Awan kembali. Cowok itu langsung menaruh tangannya di atas bahu Shasha dan berbisik, "Sha, garnish itu hiasan tumpeng."
"Ya? Gak masalah dong?" Shasha hanya memberikan tatapan polos saat Awan mengatakan itu, "berarti garnish itu artinya cantik, 'kan? Kayak Riri!"
Awan tertawa kecil lalu kembali menjawab, "Terserah kamu, deh, Sha. Suka-suka kamu. Asalkan kamu bahagia."
"Asalkan kau bahagia~" sambung Shasha lalu langsung bernanyi lagu ciptaan Armada itu.
Sementara Riri terpaku, sampai mereka pulang pun, suasana hatinya masih buruk. Keseruan di antara Shasha dan Awan sama sekali tidak membantu.
Riri ingin pulang. Riri ingin kembali ke rumah.
Ke rumah, yang pertama kali memanggilnya Ganisha.
KAMU SEDANG MEMBACA
November Rain
Fiksi Remaja"Bahkan hujan sederas apa pun akan reda pula pada akhirnya." Setelah mamanya meninggal, Riri merasa dunianya hancur. Bertepatan pula dengan itu, November datang dengan hujannya yang deras, memerangkap Riri dalam genangan. Mamanya meninggal, sahabat...