7. Tujuh Tangkai Mawar

5 4 0
                                    

Meski menerima barang dari orang tidak dikenal itu bukanlah hal yang baik. Namun, Riri tidak punya pilihan lain selain menggunakan payungnya.

Keesokan harinya di sekolah, Riri menatap Awan dan Shasha yang sudah terlebih dahulu duduk di atas kursi dan mejanya. Keduanya tersenyum. Riri sudah bisa merasakan rencana aneh yang akan segera mereka lakukan.

"Kalian mabuk rumus fisika?" tanya Riri sarkas lalu berusaha mengusir Awan dari atas mejanya.

"Jahatnyaa," Shasha menimpali sambil

Riri ke makam sama Awan sama Shasha tertawa. Satu tangannya memberikan satu kotak kecil kepada Riri.

"Nih, Riri belum sarapan, 'kan? Awan sama Shasha beliin cokelat untuk Riri!" ujar gadis itu sambil tersenyum manis.

"Err, makasih, Sha," Riri tersenyum kikuk, tidak tahu harus berkata atau bereaksi seperti apa, "tapi kalau makan cokelat pagi-pagi bisa sakit perut."

Shasha melotot ke arah Awan lalu refleks memukul bahu pacarnya itu, "Kata Awan Riri suka cokelat!"

"Ya, kan, aku gak mikir kalau kamu mau ngasih buat sarapan, Sha." Awan meringis sambil berusaha menghindari dari pukulan pacarnya itu.

"Awan gak ngasih tahu!"

"Shasha gak nanya!"

"Tempe." Riri menghela napas lalu meletakkan tasnya, lagi-lagi kehidupan SMA-nya dipenuhi oleh kehebohan dua makhluk di sebelahnya.

-o0o-

"Mama, sekarang Riri ke sini sama Awan." Riri berjongkok di sebelah nisan mamanya, satu tangannya lembut mengelus nama sang mama di sana.

Ulangan fisikanya berjalan lancar, semuanya bisa Riri jawab termasuk esai. Katakanlah, ini berkat Shasha yang giat mencarikannya jawaban.

Cewek itu memang negotiator yang hebat. Atau apalah itu sebutannya.

"Ri, lo tadi pagi udah ke sini?" tanya Awan sambil duduk di seberang Riri, tangannya merapikan tangkai demi tangkai bunga mawar di atas makam mamanya Riri.

Sementara Shasha masih berdoa. Dua tangannya terlipat di atas dada. Khusyuk sekali kelihatannya.

"Hah?" Riri menaikan sebelah alisnya. Dia tidak terlalu paham oleh apa yang Awan maksud sebelum akhirnya melihat tujuh tangkai bunga mawar yang berada di atas makam mamanya.

Riri menghela napas kemudian menggelengkan kepala. Dia tidak tahu siapa yang sudah datang lalu memberikan mamanya bunga seperti ini.

"Enggak, Wan, gue nggak datang ke sini tadi pagi gua aja kesiangan, lo liat sendiri tadi," balas Riri sambil melihat rangkaian bunga mawar itu sekali lagi.

Bunga itu disusun sedikit berantakan. Khas pekerjaan orang yang biasa serampangan tapi berusaha rapi kali ini.  Entah kenapa, Riri melihatnya seperti itu.

Bunga mawar putih yang berarti kesucian ataupun keabadian. Riri menatapnya dalam lalu melihat satu tangkai bunga mawar merah yang terselip di tengahnya. Cinta.

"Mungkin aja Papa yang udah datang ke sini duluan tadi pagi, sebelum ke kantor," kata Riri singkat lalu kembali mengelus nisan mamanya, "ya siapa tahu dia udah tobat," lanjutnya singkat.

Awan meringis di tempatnya. Shasha juga sedikit salah tingkah. Mereka tidak tahu harus bagaimana menyikapi Riri yang bercerita tentang keluarganya.

Maklum, dua-duanya berasal dari keluarga cemara dengan bendera hijau terang.

Riri tetap bergeming di tempatnya sementara Sasha baru bisa kembali mengontrol ekspresinya. Dia menyeimbangkan tubuhnya untuk berdiri lalu memberikan satu bungkus cokelat yang dibelinya di kantin tadi sebelum ke sini.

"Cokelat, Ri biar baikan lagi mood-nya," tawar Shasha sambil tersenyum canggung.

Melihat itu, Riri hanya tersenyum kecut, "Mau gimana pun juga mood gua enggak bakal balikan, Sha," tukasnya dingin.

Shasha terdiam lalu mengalihkan pandangannya. Gadis itu menghela napas dalam, merasa kasihan dengan Riri.

Sementara Awan melihat Riri dengan tatapan aneh saat gadis itu meletakkan beberapa plastik makanan ringan dan juga payung di sana. Di sebelah makam mamanya.

"Ri, gue tahu lo masih berduka, tapi, gak gini caranya," peringat Awan sambil menahan tangan Riri.

"Apa, sih, wan?" bantah Riri sambil terus meletakkan barang-barang itu.

"Lo gak bisa ngasih benda-benda kayak gitu ke Mama, Ri. Gue gak mau menyakiti hati lo sebenarnya, tapi, gak gini juga cara lo berduka," terang Awan sambil terus memegang tangan Riri.

"Gak gitu," Riri menepis tangan Awan kasar lalu berbalik, "ini ada orang kemarin kasih gue payung. gue kehujanan dua hari karena kelamaan ziarah di makam Mama," jelas Riri lalu menghela napas.

Gadis itu berbalik lalu memeluk dirinya sendiri, "Gue gak tahu siapa. Stranger. Gue gak kenal. Gak tahu mukanya gimana. Makanya, barang-barangnya mau gue kembaliin aja."

Mendengar hal itu, mata Awan sedikit menajam. Ditariknya napas lalu ditatapnya Riri dengan nyalang, "Siapa, Ri? Lo beneran gak tau siapa orangnya?" tanya Awan mendesak.

"Lah, kan, udah gue bilang stranger, kalau stranger ya mana gue tahu, dong, siapa," balas Riri tak kalau jutek.

"At least mukanya Ri, lo pernah lihat mukanya gak?" Awan terus mendesak. Jujur saja, hal ini justru membuat Riri sedikit muak.

Ke mana saja dia kemarin-kemarin lalu baru hari ini bersifat overprotektif? Tidak tahukah dia Riri hampir pingsan kalau tidak ada yang memberinya payung kemarin?

Ke mana saja Awan selama ini? Sibuk pacaran?

Riri menghela napas. Awalnya dia tidak masalah. Asalkan dengan beberapa syarat, Awan menjalani hidupnya, Riri juga menjalani hidupnya sendiri.

Bukan seperti ini, Riri tidak bisa lagi ikut campur urusan Awan, tapi, Awan masih sangat bisa ikut campur urusan Riri. Bukankah itu sedikit tidak adil?

Katakanlah dia gila. Riri sudah muak, tapi, dia tidak mau ribut di makam Mama.

Sementara itu, Shasha merinding saat mendengar perdebatan mereka. Dia tidak pernah terbiasa dengan perdebatan, orang tuanya selalu akur di rumah. Gadis itu perlahan berjalan mundur. Perasaannya tidak enak.

Dia merasa, ada sepasang mata yang mengawasi mereka.

November RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang