Chap. 6 : Bargaining

2.1K 230 2
                                    

(Becky's POV)

"Kamu mau aku menikahimu? Kamu mau aku menikahi wanita berpenis seperti dirimu? Apakah kamu sudah gila? Aku tidak sudi!" Ucapku menggebrak meja Freen.

"Itu satu- satunya pilihan yang bisa kutawarkan." Ucapnya tenang. Bagaimana bisa dia begitu santai setelah menawarkan penawaran gila itu?

"Ini gila! Aku hanya membuang- buang waktuku saja disini! Selamat tinggal!" Ucapku sembari berjalan keluar dari kantornya dan mengacungkan jari tengahku ke arahnya.

"Ingat, Becky! Penawaranku masih berlaku!" Teriak Freen dari dalam ruangannya.

Karena merasa jengkel akupun cepat- cepat mencari bus untuk pulang ke rumah.

~

Cklek.

Aku berjalan memasuki rumah hendak naik ke kamar tapi langkahku terhenti ketika aku melihat ibuku masih tertidur nyenyak di sofa ruang tv kami.

Kulihat kertas tagihan hutang yang menumpuk di meja membuatku semakin merasa bersalah.

Aku mulai mondar- mandir sambil melihat ibuku yang tertidur pulas memikirkan tawaran Freen.

Di satu sisi aku tidak sudi menikahinya tapi disisi lain aku tidak tega jika harus membiarkan ibuku menanggung beban ini sendirian. Apa yang harus kulakukan?

Huft.

Persetan.

~

"Aku tahu kamu pasti kembali tapi aku tidak menyangka akan secepat ini." Freen terkekeh melihatku duduk dihadapannya untuk kedua kalinya hari ini.

Ya. 2 jam setelah aku mengacungkan jari tengahku padanya ku kembali lagi kesini.

"Jadi... Kamu menerima tawaranku? Kamu mau menikahi wanita berpenis ini?" Tanyanya sombong.

"Jika bukan karena ibuku aku tidak sudi kembali kesini." Ucapku kesal.

"Oke oke tidak perlu marah begitu. Aku sudah membuatkan surat perjanjian untuk kita tandatangani kamu mau membacanya?" Ucapnya menyodorkan 3 kertas padaku.

"Kenapa ada 3?"

"1 untuk perjanjian pernikahan kita. 1 untuk kewajibanku padamu setelah menikah. Dan 1 untuk kewajibanmu padaku setelah menikah."

"Ugh aku pusing membaca tulisan sebanyak itu. Bisa kamu saja yang baca, Freen?" Aku menyodorkan kertas itu lagi padanya.

"Cih dasar pemalas." Gerutunya.

"Sudah tahu aku pemalas masih saja disuruh baca tulisan sebanyak itu." Ucapku tidak mau kalah.

"Baiklah. Di lembar pertama... Surat perjanjian pernikahan. Aku akan melunasi seluruh hutangmu dan memenuhi kebutuhan hidupmu selama masa pernikahan kita yaitu 7 tahun."

"7 tahun? Sejak kapan ada tanggal kadaluarsa di dalam pernikahan?" Ucapku Bingung.

"Kamu mau seumur hidup denganku?"

"Eh tentu saja tidak! Lanjutkan."

"Oke selanjutnya... Tidak akan ada kehamilan dan anak di pernikahan kita karena kita hanya menikah 7 tahun, tidak ada yang boleh tahu kalau ini hanya pernikahan yang terikat kontrak, dan yang paling penting jika ada satu pihak yang melanggar perjanjian maka pernikahan akan dibatalkan dan pihak tersebut harus memberi pihak yang dilanggar uang sebesar 10 juta dolar. Kamu paham sampai sini?" Ucap Freen sembari meletakkan kertas yang dibacanya dan mengambil kertas lain.

"Aku mengerti. Aku tidak masalah dengan itu sejauh ini."

"Baik. Lembar selanjutnya adalah kewajibanku padamu. Aku akan menafkahimu dan setia padamu selama 7 tahun pernikahan kita."

"Cih aku tidak yakin kamu bisa tahn dengan satu wanita saja." Ucapku meragukannya.

"Jangan pernah meragukan kesetiaanku, Becky. Lagipula nama baikku akan tercoreng jika sering menyewa pelacur itulah kenapa aku memilik menikah kontrak denganmu."

"Jadi kamu pikir aku pela-"

"Oke lanjut. Kita ke lembar bagianmu. Kamu akan tinggal satu rumah denganku. Kamu tidak perlu memasak dan membersihkan rumah karena itu sudah kuurus. Kamu bebas beraktifitas apapun selama aku menyetujuinya. Kamu harus setia padaku selama 7 tahun itu. Dan yang terpenting kamu harus melayaniku kapan pun aku mau." Sela Freen.

"Tunggu dulu. Aku punya beberapa pertanyaan. Satu, jika aku tinggal denganmu, bagaimana dengan ibuku. Kedua, katamu aku tidak perlu memasak dan membersihkan rumah lalu apa maksudnya melayanimu?"

"Ya Tuhan, Becky. Kamu polos sekali. Melayani maksudku dalam urusan ranjang. Tahu kan urusan ranjang?" Tanyanya.

"Apa! Tidak aku tidak mau!"

"Maaf, Becky tapi untuk yang itu tidak bisa diubah. Untuk ibumu...hmm... aku bisa membelikannya rumah berdekatan dengan kita? Atau dimanapun ibumu mau?" Ucapnya.

"Baiklah aku setuju tapi tidak dengan kegiatan ranjang itu."

"Kamu harus setuju untuk itu atau pernikahannya batal." Ucapnya.

"Huft. Kamu ingin dilayani bagaimana?" Tanyaku sebal.

"Tujuh kali seminggu."

"Apakah kamu gila! Satu kali seminggu aku mau melayani mu saja sudah baik!" Bentakku padanya.

"Baiklah. Enam kali seminggu."

"Kau gila! Dua kali saja!"

"Ck. Enam setengah!"

"Freen!"

"Oke- oke lima kali seminggu atau kita batal."

"Baiklah lima kali seminggu." Ucapku setuju meskipun tidak rela.

"Oh ya satu perjanjian lagi. Hampir saja lupa." Sekarang dia mengeluarkan satu kertas lagi. Berapa banyak kertas sih yang harus ditandatangani.

"Perjanjian sebelum menikah. Kita harus sama- sama melakukan cek kesehatan fisik dan mental. Aku tidak mau mengambil resiko terkena penyakit menular ataupun dibunuh olehmu karena kamu ternyata psikopat."

"Sama aku juga tidak ingin menikahi wanita gila." Ucapku sinis.

"Baik semua sudah jelas. Kamu ingin tanya sesuatu?"

"Kapan kita menikah?"

"Bulan depan." Jawabnya santai sembari mengetik ulang perjanjian kami yang sudah diubah sedikit.

"BULAN DEPAN?! Apakah kamu gila? Kenapa secepat itu?"

"Sebetulnya aku ingin lebih cepat tapi kita harus cek kesehatan dan aku harus operasi dulu."

"Operasi apa?"

"Operasi steril tentu saja. Aku tidak ingin menghamilimu dan tidak suka pakai kondom. Steril lebih praktis."

"Ewh. Bisakah kamu menggunakan bahasa yang lebih sopan?" Aku merinding mendengar kata 'mengahimili' dan 'kondom' yang keluar dari mulutnya.

"Kamu akan menikahiku jadi biasakanlah dirimu mendengar kata- kata itu."

"Tetap saja aku risih mendengarnya."

"Oke, Becky. Sudah ku print keempat kertas perjanjian kita. Tandatangan lah." Ucapnya menyodorkan keempat kertas itu.

Kertas yang dipakai sangatlah bagus dan tebal tidak seperti kertas lainnya.

"Kenapa kertasnya berbeda?" Tanyaku.

"Agar awet dipakai 7 tahun." Kata Freen.

Aku mengecek isi perjanjian itu berulang kali untuk memastikan dia tidak memasukan sesuatu yang licik di perjanjian kami. Setelah yakin, aku membubuhkan tanda tanganku diatas materai, disebelah tanda tangan Freen lalu menyerahkan kertas itu ke Freen.

"Ini fotokopi dari surat perjanjian kita. Simpanlah baik- baik dan jangan hilang." Ucapnya menyodorkan fotokopian itu.

"Baik karena kita sudah deal.. datanglah dua hari lagi kesini. Kita akan melakukan cek kesehatan fisik dan mental." Lanjutnya.

The Contract (FreenBecky)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang