07. Jangan Khawatir!

28 7 83
                                    

"Rian, ada pembelaan?"

Fikri duduk di hadapan Rian, memaksa remaja itu untuk beradu tatap. Raut wajah Fikri yang serius cukup untuk membuat Rian merasa terintimidasi dan mengalihkan pandangannya.

"Kamu pihak jahat, kan?"

Tatapan mata seluruh member yang menuju padanya seolah menghipnotis laki-laki itu untuk mengakui identitas. Ia berdiri, menatap teman-temannya dengan senyuman hambar. Tangan yang dikepal cukup untuk menggambarkan bahwa emosi remaja itu sedang bercampur aduk antara ketakutan dan perasaan bersalah.

"Kak Eris, maafin aku, ya?" lirih Rian.

"Eris baik hati dan rajin menabung, kok," balas Eris.

Cindy menautkan alisnya. "Kamu minta maaf sama kak Eris doang? Emangnya kamu enggak merasa bersalah sama kami semua?"

"Kurasa dia minta maaf karena udah blokir kekuatan kak Eris dua malam berturut-turut," Rav berdiri dan berjalan mendekat ke arah Rian, "kamu hag, kan?"

Remaja itu hanya menunduk pasrah, kemudian mengangguk lemah. Akting yang cukup bagus untuk menutupi senyuman tipis yang terukir di bibirnya. Yemi dan Key yang baru saja kembali dari ujung lapangan untuk menenangkan diri menatap Rian dengan tatapan tajam.

"Moderator! Kami mau eksekusi sekarang! Bunuh Rian sekarang juga!" teriak Yemi sembari menengadahkan kepalanya ke atas.

'Wah ... Kenapa buru-buru sekali?'

"Bacot."

Icha menatap Key yang tanpa ekspresi. Senyuman manis biasanya selalu terukir indah di wajah seorang Key, tapi ia tak dapat menemukan ukiran indah itu terpatri di sana kali ini. Gadis itu benar-benar kosong, hampa, dan datar. Icha mencoba mendekati Key dan memeluknya erat sehingga ia menyadari satu hal yang tidak biasa.

"Key? Kamu ...." Icha mundur beberapa langkah dengan bibir yang bergemetar.

"Kenapa? Key kenapa?" tanya Diva waspada.

"Eh ... Itu. Tadi aku-."

"Key lagi shock. Jangan diapa-apain. Kak Steven pernah bilang ke aku kalau dia meninggal, Key pasti cuma punya dua pilihan untuk diambil," potong Karvin.

"Dua pilihan?" Diva mengernyit bingung.

"Kalau dia bisa bertahan hidup, dia enggak akan mau buka hati, enggak akan mau cari orang lain, simpelnya dia bakal lebih tertutup," Karvin menarik napas pelan sebelum lanjut menjelaskan, "kalau enggak bisa, ya dia bakal bunuh diri."

Beberapa pasang mata tampak membelalak terkejut dengan pernyataan Karvin barusan. Yemi menatap Karvin sinis sembari berkacak pinggang. "Serius kamu, Vin? Masa iya? Steven enggak pernah bahas soal itu sama aku, tuh?"

Karvin menatap Yemi heran. "Emang kenapa? Emangnya kak Steven tipikal orang yang bakal bahas satu topik ke kita semua? Kenapa seolah apa yang kutahu tentang mereka harus kalian ketahui juga?"

"Enggak gitu. Steven dan Key akrab denganku. Agak sulit dipercaya kalau ada hal yang enggak kuketahui tentang mereka tapi kamu-"

"Maaf menyela tapi aku gak setuju sama pemikiran konyol itu. Orang yang akrab sama Key dan kak Steven bukan cuma satu orang," sela Karvin sedikit menahan emosi.

Di tengah-tengah perdebatan Karvin dan Yemi, Tara yang sedari tadi tampak sibuk berbicara sendiri mulai berjalan pelan mendekati Key. Wanita itu membisikkan sesuatu pada telinga Key dengan lembut. Dalam sepersekian detik, wajah Key mulai kembali bersinar.

"Serius, Kak?" Gadis itu bertanya dengan mata berbinar.

Tara mengangguk lembut. "Cocok banget emang kalian berdua. Aku salut."

Werewolf: The ChroniclesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang