13. Jangan Benci Aku, Ya?

23 6 66
                                    

"Udah solved kan, harusnya?"

Haru menatap Rav horor. Ia melangkah mundur perlahan dengan kaki yang mulai bergemetar. Sura, Resti, dan Rav hanya diam di tempat, menunggu sang moderator mengumumkan waktu eksekusi.

"Enggak! Bukan Haru!" Remaja itu masih bersikeras.

"Kalau gitu, coba sampaikan pembelaanmu," pinta Rav.

Haru terdiam seribu bahasa. Air mukanya berubah masam. Ia menghentikan langkah kakinya yang terus bergerak mundur perlahan sejak tadi, dan menunduk dalam. Tangannya yang dikepal kuat tampak seperti menahan suatu emosi.

'Kalian sudah menetapkan, ya?' suara sang moderator terdengar cukup terkesan dari atas sana, "baiklah kalau begitu. Waktunya vote!"

Empat telunjuk langsung mengarah kepada Haru seorang. Untuk sesaat, ekspresi ketakutannya tampak begitu jelas. Hanya saja, tak lama kemudian ekspresi itu berganti dengan senyuman dan diikuti tawa yang terdengar puas akan hasil.

"Yah, padahal tinggal sedikit lagi. Gapapa deh, seru juga permainannya. See you on top, guys!" ujar remaja itu sebelum sebuah jarum menyuntikkan cairan aneh di bagian leher.

Usai disuntik, Haru kemudian melemah dan terkapar di tanah. Tubuhnya membiru dan mulai kejang-kejang. Mulutnya mengeluarkan busa yang tidak sedikit. Sepertinya suntikan yang ia terima barusan adalah racun yang menyiksa terlebih dahulu sebelum membunuh seseorang.

'Seperti yang kalian lihat, bulu kucing yang tumbuh dari tubuhnya menandakan Haru yang baru saja kalian eksekusi merupakan seorang werekitten. Hanya tersisa satu pihak werewolf dari empat pemain yang bertahan hingga saat ini. Semoga beruntung di malam kesepuluh, villagers!'

***

'Siang kesepuluh! Rav the villager adalah korban dari sang pemangsa di malam kesepuluh. Kini hanya tersisa Resti, Sura, dan Fuyu. Gunakanlah pikiran kalian sebaik mungkin jika ingin memenangkan permainan ini! Vote akan dimulai dalam dua menit dari sekarang!'

Sura berdiri di sebelah Resti, menatap Fuyu dengan tatapan yakin dan percaya diri. Dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku, ia berucap santai, "Waktu diskusi dua menit, nih? Kelamaan enggak, sih?"

Resti mengangguk. "Iya, nih. Padahal udah solved. Kenapa enggak bisa minta vote sekarang aja, sih?"

"Gimana, ya? Aku enggak nyangka kak Fuyu sejago itu dalam berakting. Sejak awal, aku percaya banget sama kak Fuyu. Gelagatnya, tindakannya, sama sekali enggak keliatan kayak nutupin sesuatu," Sura tertawa pelan, "aku minta maaf ya, Kak Fuyu. Mau enggak mau kami harus nge-vote Kakak."

"Kamu ngomongin apa, sih, Sura?" celetuk Resti tiba-tiba.

Sura terkejut mendengar kalimat Resti barusan. Perlahan, rasa gugup mulai timbul di benaknya. Ia menggigit bibir bawahnya samar, mencoba menepis rasa cemas yang menghampiri.

"Loh? Kenapa nanya gitu? Udah selesai, kan? Udah solved, kan?" tanya Sura memastikan.

"Iya, udah solved, kok. Kamu, kan?" Resti berjalan mengambil posisi di sebelah Fuyu, kemudian berbalik untuk menatap Sura yang hatinya sudah mulai tidak tenang.

"Maksud Kak Resti apa? Haru kemaren ketus ke Kak Fuyu karena ikutan nuduh dia, kan? Haru begitu karena Kak Fuyu rekannya, kan? Kak Resti sendiri yang bilang begitu!" bantah Sura dengan balik bertanya.

Resti tersenyum puas dan tertawa cukup lama sebelum menjelaskan. "Memang benar aku bilang begitu, tapi kalian udah ngelakuin kesalahan besar. Kalian justru masuk ke dalam jebakan kami. Kamu ingat waktu kamu ngasih saran buat vote Haru sebelum Rizal mengorbankan dirinya, kan? Waktu itu, respon Haru terdengar sama sekali enggak peduli dan santai."

"Kenapa harus Haru?"

"Melihat respon itu, aku langsung menatap Fuyu dan memberi kode padanya untuk menuduh Haru di siang selanjutnya. Awalnya, aku enggak begitu yakin cara ini bakal berhasil atau enggak. Beruntung, Haru melakukan sebuah kesalahan besar yang membongkar semuanya. Haru menjadikan Fuyu sebagai objek adu domba untuk menyelamatkan rekannya, tapi ia melupakan satu hal penting. Kata-kata kak Fikri di siang ketiga," lanjut Resti.

"Yang pasti, aku augur dan udah terawang selama tiga malam. Chita dan Fuyu bersih."

"Kak Fikri beneran augur, dan dia bilang Fuyu bersih. Kenapa tiba-tiba Haru mengambinghitamkan Fuyu? Apa dia lupa sama kata-kata kak Fikri karena udah lama? Kenapa bisa lupa sama info penting? Karena dia bukan villager dan enggak merasa bahwa info bersihnya seseorang itu penting, kan?" Resti sengaja diam sesaat untuk melihat reaksi Sura.

"Jadi kenapa Kak Resti langsung menyudutkan Haru sekaligus Kak Fuyu? Kalian memang berencana untuk menuduh Haru di siang selanjutnya, tapi kalian sama sekali enggak diskusi atau ngobrol apapun waktu itu, kan? Kenapa kalian bisa langsung paham soal apa yang terjadi?" Gadis itu mulai berkeringat dingin.

Fuyu yang diam sejak tadi kini ikut menjawab. "Sejujurnya aku juga kaget waktu Resti ikut menuduhku. Kupikir dia benar-benar curiga, tapi melihat tatapannya yang yakin dan lantang, aku jadi sadar kalau dia sedang merencanakan sesuatu. Kalau dia benar menganggapku seorang werewolf, aku yakin yang ada di matanya pasti cuma tatapan kekecewaan."

"Selain itu, aku juga sengaja nuduh Fuyu supaya kamu enggak bisa nargetin siapapun selain Rav. Kamu enggak bisa bunuh Fuyu karena dia jadi tersangka werewolf atas tuduhanku. Kamu juga enggak bisa bunuh aku karena aku yang membuka tuduhan. Satu-satunya yang kamu bisa targetin cuma Rav, dan kematian Rav di malam kesepuluh ini adalah bukti bahwa semua yang kukatakan tadi adalah benar. Ada pembelaan terakhir, Sura?" Resti tersenyum puas dan merangkul Fuyu, menyalurkan energi kebahagiaan yang ia dapatkan di malam terakhir.

Sura terduduk tanpa tenaga. Ia menyadari Resti dan Fuyu sudah satu langkah di depannya. Tidak ada lagi harapan untuk menang. Werewolf ... kalah atas villager.

'Wah, teori dan taktik yang keren! Aku menyukainya. Jadi, kalian sepakat untuk mengeksekusi Sura di siang kesepuluh ini?" tanya sang moderator.

Nada bicaranya yang selama ini terdengar sangat menyebalkan kini telah berubah. Suaranya terdengar lebih bersahabat dan menyenangkan, membuat Resti dan Fuyu mengangguk gembira, meskipun raut lelah terpampang sangat jelas di wajah mereka.

Tangan dan kaki Sura tiba-tiba terikat oleh sesuatu yang muncul dari dalam tanah. Gadis itu tertahan dalam posisi tengkurap, kemudian mencoba memberontak histeris ketika melihat setrika raksasa muncul dari atas sana. Teriakan pilu dan menyakitkan terdengar sangat nyaring dari mulut gadis itu, menggambarkan betapa menyiksa hukuman sang moderator yang menyetrika punggung seorang gadis hingga tak bernyawa.

'Sura the werewolf telah dieksekusi di malam kesepuluh! Werewolf kalah!'

Pengumuman dari sang moderator spontan membuat Fuyu memeluk Resti erat. Mereka melompat-lompat kegirangan. Tangis haru mulai pecah dan menjadi alunan melodi indah untuk telinga mereka berdua. Cukup lama mereka berpelukan, tapi suasana yang tak kunjung berubah membuat mereka kebingungan.

'Malam telah tiba!'

"Eh? Malam? Bukannya udah———"

JLEB!

"Maaf. Jangan benci aku, ya, Fuyu?" bisik Resti setelah menusukkan jarum ke leher Fuyu, tepat di daerah fatal.

'SERIAL KILLER WIN!'

***

1036 kata.

Werewolf: The ChroniclesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang