Laki-laki itu menyandarkan punggung lelahnya ke sandaran kursi, merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa pegal bukan main karena duduk terus menerus. Pekerjaannya seakan tidak ada habisnya, terhitung sudah lebih dari tiga belas jam ia duduk di depan laptop yang menyala dengan banyak kertas di sekitarnya.
Rony meraih ponselnya yang berbunyi menandakan banyaknya notifikasi baik pesan maupun dari sosial medianya. Tidak heran karena Rony baru mengaktifkan lagi ponselnya setelah dengan sengaja ia mematikan ponsel itu agar bisa fokus dengan pekerjaannya. Setelah rentetan bunyi notifikasi itu berhenti, ponsel Rony berdering nyaring, nama kontak 'Ina' muncul di layar. Tanpa berpikir panjang ia menerima panggilan telepon itu.
"Bang, lo beneran di Surabaya?"
"Iya, Na, kenapa?" Orang di seberang sana belum menjawab, tiba-tiba Rony teringat sesuatu, "oh iya, gue lupa banget kalau rumah kita sekarang deket ya."
"Udah tua sih lo, pikun."
Rony ikut terkekeh saat perempuan yang bernama Ina itu tertawa meledeknya. "Bukan tua lagi kalau gue, lansia." Rony membalas lelucon Ina yang membuat perempuan di ujung sana mengeraskan tawanya.
"Kalau lo di Surabaya, om sama tante di Singapura, berarti Nabila sendiri dong di rumah?"
"Nggak sendiri, ada mbak yang nemenin selama gue sama bokap nyokap pergi." Rony melangkahkan kakinya menuju sofa, membaringkan tubuh penatnya, berharap lelahnya akan berkurang walau sedikit.
"Tumben banget lo biarin Nabila tanpa pengawasan, biasanya protektif banget."
"Mau gimana lagi, Opa drop sedangkan kantor cabang di Surabaya lagi bermasalah," ucap Rony memejamkan matanya. "Tapi Nabila tetep gue pantau ko', ada yang jagain juga."
"Lo nyewa bodyguard?"
Rony terkekeh pelan, "nggak lah, ada pokoknya. Gue rasa sih mereka saling suka, dan menurut gue dia lumayan nggak macem-macem anaknya. Rumah orang tuanya juga masih satu komplek."
"Oh ya? Siapa?"
"Lo tanya langsung aja sama Nabila. Udah dulu ya, gue capek banget, mau istirahat dulu bentar." Rasa kantuknya mulai datang bersamaan dengan lapar menyerang. Ia memang belum makan malam dan hanya makan satu buah apel saat makan siang, itu pun ia sempatkan di sela-sela kesibukannya.
"Oh iya bang satu lagi, gue lupa, tadi om Faris telepon katanya besok balik terus sekalian aja gue tawarin diri buat jemput. Hp lo nggak bisa dihubungi dari tadi katanya, makanya telepon gue. Sama pinjem mobil ya hehe.."
"Pake aja. Makasih ya, Na. Kalau mau ke rumah datang aja, pasti Nabila seneng ada temennya."
Panggilan itu terputus setelah Ina, sepupu jauhnya mengiyakan ucapan Rony. Kakeknya dan nenek Ina adik kakak, hubungan mereka memang tidak terlalu akrab namun bisa dibilang cukup dekat apalagi setelah keluarga Rony pindah rumah beberapa tahun yang lalu ke komplek perumahan yang sama dengan kediaman keluarga Ina.
Bisa-bisanya Rony lupa bahwa rumah mereka kini berdekatan. Kalau Rony ingat, sudah pasti ia akan meminta Ina untuk membantu mengawasi Nabila. Tapi ia juga tidak menyesali keputusannya mempercayai Paul untuk menjaga Nabila, karena sejauh ini Paul melaksanakan tugasnya dengan baik.
Sebelum Rony memberikan kepercayaannya kepada Paul, ia sudah lebih dulu mencari tahu tentang lelaki berdarah blasteran itu juga keluarganya. Rony tidak akan dengan mudah mempercayai seseorang untuk menjaga adiknya kecuali sudah dinyatakan lolos seleksi dan tentunya memenuhi syarat yang ia tetapkan sendiri. Lagi pula, Rony memiliki foto KTP lelaki itu yang ia jadikan jaminan kalau sewaktu-waktu terjadi sesuatu.