Nabila dan Anggis terlihat sangat fokus mengerjakan tugas yang diberikan oleh Bu Lina. Mereka diberi tugas mencari sepuluh artikel lalu menentukan fakta dan opini yang ada pada artikel tersebut.
Materi pelajaran Bahasa Indonesia di semester genap ini mengharuskan mereka untuk lebih teliti lagi. Percaya tidak percaya, Bahasa Indonesia adalah pelajaran yang sering dianggap mudah, namun saat dikerjakan bisa membuat pusing karena banyak jebakan.
Nabila menegakkan tubuhnya, pulpen yang sedari tadi ia pegang untuk menulis diletakkan begitu saja. "Padahal Bahasa Indonesia itu bahasa keseharian kita ya, tapi kenapa susah banget sih?"
"Kalau gak mau susah, kerjain tugasnya Baim aja," ucap Anggis yang masih berusaha fokus pada tulisannya.
"Baim siapa?"
"Anak tetangga aku. Dia sekarang sekolah TK B, baru mau masuk SD." Nabila mendengus kesal mendengar jawaban Anggis, ditambah lagi ia sudah pegal menulis.
"Anggis, mama ke supermarket depan dulu ya." Mama Anggis menghampiri kedua remaja yang sedang mengerjakan tugas di ruang tamu rumahnya. Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore, namun kedua gadis itu masih pada posisi mereka sejak pulang sekolah tadi. Mereka duduk lesehan di karpet ruang tamu.
Anggis mengangguk mengiyakan, "aku mau yogurt kaya biasa ya, ma." Anggis menampakkan deretan giginya yang rapi, membuat sang ibu tersenyum sambil mengangguk.
"Nabila mau titip apa?" Kini mama Anggis beralih kepada Nabila yang sepertinya sudah lelah mengerjakan tugas.
Nabila menggeleng dengan senyum, "makasih, tan. Tapi Nabila lagi gak pengen apa-apa, hehe.."
"Beneran? Es krim gak mau?"
Tawaran mama Anggis kali ini berhasil membuat senyum Nabila berubah menjadi cengiran malu-malu. "Kalau itu boleh deh, Tan."
Jawaban Nabila membuat Anggis mencebik, "yee.. dasar." Mama Anggis hanya tertawa, sudah hafal sekali dengan kesukaan dua anak remaja ini.
"Oh iya, Gis, nanti Paul mau ke sini katanya. Kalau dia udah dateng suruh masuk aja ya," ucap Mama Anggis setelah tawanya mereda.
Kini Anggis meletakkan pulpennya, menatap mamanya senang akan kabar yang baru ia dengar. "Kak Paul udah balik? Kapan baliknya?"
"Baru beberapa hari yang lalu kayaknya, belum lama. Ya udah, mama pergi dulu ya." Mama Anggis membenarkan posisi tasnya yang sedikit merosot, "kalau butuh sesuatu bilang aja sama mbak."
Anggis mengacungkan jempolnya dengan senyum cerah. Ia sangat senang begitu mengetahui bahwa kakak sepupunya itu kembali ke Jakarta setelah lama sekali tinggal di Surabaya.
Sedangkan Nabila terlihat bungkam. Tentu saja ia mendengar percakapan Anggis dan mamanya, serta pembahasan tentang seseorang yang disebut Paul. Nabila teringat dengan lelaki yang ditemuinya di halte dan taman komplek saat istirahat bersepeda. Bukankah namanya sama? Tapi apa orang yang dimaksud oleh Anggis adalah orang yang sama dengan yang ditemuinya?
Menyadari bahwa sahabatnya melamun, Anggis menyenggol siku Nabila. "Kenapa?"
"Paul siapa?" Tanya Nabila spontan, rasa penasarannya terlalu besar.
"Oh, Kak Paul, dia kakak sepupu aku. Udah lama banget tinggal di Surabaya dan baru balik Jakarta. Aku juga baru tau kalau dia udah balik. Kamu kenal sama Kak Paul?"
Nabila menggaruk kepalanya yang tiba-tiba gatal, "gak tau juga sih, tapi namanya sama kaya cowo yang aku ceritain waktu itu sama kamu."
Kedua mata Anggis membola, berbagai spekulasi bermunculan dalam kepalanya. Ia bertepuk tangan heboh, membuat Nabila menatapnya heran.