Seperti biasa, aku update bab baru selalu malam ya, teman-teman.. Semoga kalian suka dan nggak bosan ya..
Terima kasih banyak yang sudah baca dan meninggalkan jejak berupa vote apalagi komentar🤗 Aku suka banget bacain komentar kalian hehe..
Happy reading yaaa.. Enjoy!✨
---o0o---
Nabila mengaduk-aduk makanannya tanpa selera, beberapa macam hidangan buatan Mbak Yanti di depannya sama sekali tidak membuat nafsu makannya muncul. Banyak sekali hal-hal yang mengganggu pikirannya.
Gadis itu berjengit kaget merasakan sesuatu yang dingin menempel di pipinya. Satu cup es krim vanilla berukuran sedang langsung diambil alih oleh Nabila dari tangan Rony. Abangnya itu memang paling mengerti Nabila.
"Makasih, bang," ucap Nabila yang langsung menikmati es krimnya.
Rony mengangguk sambil mengusak kepala Nabila pelan, "sama-sama."
Malam ini akhirnya mereka bisa duduk di meja makan bersama setelah malam-malam sebelumnya Rony disibukkan oleh urusan pekerjaan yang menyita waktunya hingga jarang berinteraksi dengan adiknya. Untuk malam ini Mbak Yanti diperbolehkan pulang setelah tadi menyuapi mama Hana di kamar. Kondisi kesehatan mama Hana sudah membaik walau belum mau banyak bicara. Wanita paruh baya itu sudah mau makan dan minum obat tanpa paksaan, itu juga yang menjadi alasan Nabila mau kembali masuk sekolah.
"Gimana tadi di sekolah?"
"Biasa aja," jawab Nabila masih sibuk dengan es krimnya, sama sekali tidak berniat menceritakan lebih jauh tentang dirinya yang dijauhi apalagi perihal dia yang membolos bersama Anggis. "Tadi aku ketemu papa."
Tangan Rony yang baru saja ingin mengambil nasi tertahan di udara, memfokuskan perhatiannya pada Nabila. "Kenapa nggak bilang sama abang? Kamu belum punya sim, loh, dek, kalau ada apa-apa gimana?"
"Aku sama kak Damar ke sananya, abang nggak perlu khawatir."
"Damar? Kamu ketemu Paul juga?"
Nabila mengangguk santai, kembali menikmati makanan manis kesukaannya.
"Tapi kamu nggak papa 'kan, dek?" tanya Rony dengan nada khawatir yang tidak dapat disembunyikan. Rony bahkan langsung bangkit dari duduknya, memindai tubuh Nabila, memastikan tidak ada luka atau sesuatu yang menyakiti adiknya.
"Aku nggak papa loh, bang." ucap Nabila sambil berdecak. "Kenapa sih?"
Rony bernapas lega setelah memastikan tubuh adiknya aman. "Abang cuma takut kamu kenapa-napa, dek," jawab Rony lalu menuangkan nasi beserta lauk-pauk ke atas piring miliknya.
"Bang," panggil Nabila yang hanya dibalas deheman oleh Rony. Pria itu mulai menyantap makan malamnya dengan tenang. "Papa bukan orang jahat, 'kan?"
"Bukan, papa orang baik."
"Tapi orang baik nggak mungkin masuk penjara."
Rony menghentikan kegiatan makannya, meletakkan sendoknya pelan. Ia menatap Nabila dengan sorot penuh keseriusan, "gak semua orang di dalam penjara itu jahat, dek. Selain karena keadaan yang memaksa mereka menjadi jahat, ada juga yang masuk ke sana karena terlalu baik. Sama kaya papa. Sama halnya juga di luar penjara, belum tentu yang bebas kaya kita gini baik semua, 'kan? Karena tempat dimana kita berada itu nggak menjamin baik buruknya seseorang, semua balik lagi ke diri kita masing-masing."
"Jadi?"
"Jadi, yang perlu kita lakukan itu cuma berusaha menjadi orang baik. Jangan sampai kita menjadi tokoh antagonis dalam hidup seseorang."
"Kalau papa terlalu baik sampai rela masuk penjara, siapa orang yang papa lindungi, bang?"
---o0o---
"Nduk, awal bulan depan mulih lagi, yo,"
Salma mengambil tas miliknya yang berada di loker. Ia baru saja selesai menggung di salah satu cafe dan langsung mendapat panggilan telepon dari mamanya di Surabaya. "Ada acara apa, ma?"
"Ketemu lagi sama keluarga om Adi. Kita bicarakan tanggal lamaran dan pernikahan kamu sama Zhafran."
Salma terdiam, meremas kunci motor yang berada di tangannya. "Ma, kita udah obrolin ini. Aku nggak cocok sama anaknya om A--"
"Tapi waktu itu kalian ngobrolnya seru loh,"
"Kita memang ngobrol, tapi aku sama sekali nggak ada ketertarikan atau rasa sedikitpun sama dia, ma.."
"Kamu nolak karena udah punya pacar lagi ya? Orang yang gandeng tangan kamu itu? Dia itu orang jahat, kamu jangan mau sama dia."
"Siapa yang mama maksud?" Tanya Salma langsung. Seingatnya ia tidak pernah bergandengan tangan dengan siapapun kecuali... Rony! "Mama tau dari mana?"
"Temanmu yang bilang, dia kirim foto kamu sama laki-laki itu gandengan."
"Temanku yang mana sih ma?"
"Kan mama udah pernah bilang, dia nggak mau mama sebut namanya, nduk,"
Suara decakan Salma terdengar. Siapa sih temannya yang dimaksud? Kenapa hobi sekali melaporkan apa saja yang ia lakukan? Itu benar-benar temannya, atau hanya orang yang mengaku-ngaku?
"Pokoknya mama tunggu ya, kamu jangan lupa cuti. Jaga kesehatan dan jaga diri, nggak usah deket-deket cowok itu lagi, bahaya. Assalamu'alaikum."
Sambungan telepon langsung diputus sebelum Salma menjawab salam sang ibu.
---o0o---
"Ina, om minta tolong kali ini aja. Jangan laporkan dia," mohon papa Faris dengan tangan terkatup di depan dada. Kedua mata tuanya menyiratkan keputusasaan. "Om akan kasih apapun yang kamu mau, tapi biarkan om saja yang di penjara. Jangan dia."
Gadis berusia pertengahan dua puluh tahun itu menatap omnya tak percaya, "yang ada di depan aku ini beneran om Faris? Sejak kapan om jadi begini?" tanya Ina memberi jeda pada ucapannya.
"Om dikasih apa sampai belain dia segininya? Rela dipenjara walaupun nggak bersalah, ninggalin keluarga om yang kondisinya sama sekali nggak bisa dikatakan baik, sedangkan om di sini malah mikirin nasib orang lain yang sama sekali nggak mikirin om?!"
"Aku nggak bisa bayangin gimana sakit hati dan kecewanya Tante Hana, Rony, apalagi Nabila kalau tau kelakuan om yang sebenarnya." Ina mengepalkan tangannya di bawah meja berusaha menahan emosi yang terlanjur tersulut. "Waktu itu aku memang bilang mau bantu om, tapi untuk saat ini dan kondisi kaya gini aku nggak bisa. Maaf om, aku bakal bela diriku sendiri dari laporan anak om nanti. Aku sendiri juga yang akan mencari buktinya."
"Coba om pikir lagi sebelum mengambil keputusan. Istri om sakit, anak laki-laki om kerja keras buat mengembalikan lagi citra perusahaan. Setahu aku, Rony juga lagi berusaha mendapatkan Salma. Dan Nabila, dia sampai dijauhi sama teman-temannya di sekolah karena papanya dipenjara. Apa yang akan dilakukan keluarga om nanti? Mereka pasti akan benci banget sama om kalau tau apa yang sudah dilakukan laki-laki yang selama ini mereka banggakan." Ina bangkit dari duduknya, "aku pamit."
Sepeninggalan Ina, papa Faris hanya bisa terpekur memikirkan semua yang diucapkan oleh keponakannya.