Bab 22
Seminggu sejak pertemuan terakhir keduanya, Zaidan masih sama. Moodnya menjadi sangat baik, hal itu membuat dua sahabatnya heran. Seperti saat ini, mereka sedang berkumpul di rumah Zaidan. Kakak dari perempuan yang sudah membuat Zaidan jatuh hati juga sedang dalam perjalanan. "Temen lo enggak gila kan?" tanya Samudra pada Nando.
"Temen lo juga!" balas Nando dengan sedikit emosi. Bagaimana tidak emosi, Samudra terus saja merecokinya dengan pertanyaan tentang Zaidan. Contohnya seperti tadi, itu membuat Nando yang bimbang antara senang atau sedih menjadi tidak bisa mengontrol emosi.
"Sabar, inget Tuhan lo!" ujar Samudra.
Karena Samudra masih sangat merasa heran dan tidak puas dengan jawaban Nando. Dia memilih untuk bertanya langsung, "Lo masih waraskan calon kakak ipar?"
Raut wajah Zaidan yang awalnya biasa saja jadi mendatar, menatap Samudra dengan tajam. "Inget! Kalian beda," tegas Zaidan.
Dia tidak masalah jika teman-temannya dia menjadi tidak waras. Dia sendiri juga sudah memikirkannya seminggu ini, Zaidan berniat melamar kembali Aira. Jika Aira kembali menolaknya, Zaidan akan ikhlaskan Aira. Karena memang mungkin Aira bukanlah nama yang tertulis di lauhul mahfudz.
Tok tok tok
"Assalamualaikum," salam dari luar membuat atensi mereka berpindah.
"Do, tolong bukain pintu. Kalo Samu yang ada tamu gue kabur," pinta Zaidan.
Nando yang memang tidak mau berdebat, langsung beranjak membukakan pintu. "Wa'alaikumussalam," jawab Nando.
"Masuk Zer!" ajak Nando.
Yang datang adalah Zero. Sejak tiga tahun lalu, Zero menjadi kenal dengan Nando dan Samudra. Seperti weekend kali ini, Zaidan mengajak Zero untuk bergabung dengan mereka.
"Bang Zai kenapa?" bisik Zero pada Nando saat melihat wajah berseri Zaidan.
"Habis ketemu sama adek lo."
Mendengar itu, Zero jadi teringat saat Zaidan tiba-tiba memintanya ke Kota Tua. Tanpa pikir ulang tentu saja Zero langsung pamit ke Kota Tua untuk menemui Zaidan. Dan di sana Zaidan tidak sendiri, dia bersama dengan Aira. Saat itu juga Zaidan langsung memarahinya karena membiarkan adiknya pergi sendirian.
"Ehem, lo dah enggak marahkan Bang?" tanya Zero.
"Duduk dulu!" titah Zaidan.
"Zer," panggil Zaidan dengan raut serius.
"Iya?"
"Kalo ada laki-laki yang datang lamar adikmu, bakal langsung di terima enggak?"
"Abang mau lamar Aira lagi? Lamar aja gapapa, Bang. Bunda sama Ayah pasti restui, tapi balik lagi ke Aira." Zero menjawab dengan jujur. "Lagian Ai tuh enggak pernah deket sama cowok selain gue sama Ayah. Dan gue yakin, yang mau sama Ai cuma lo aja!"
Mendengar itu, wajah Zaidan langsung berseri-seri dan dia tersenyum malu. "Jadi salting di puji sama calon ipar," gumam Zaidan sambil menutupi wajahnya.
Sedangkan Nando dan Samudra malah geli melihat tingkah temannya itu, mereka tidak bisa membayangkan bagaimana jika nanti lamaran Zaidan diterima. Mungkin pria itu akan lebih tantrum dan gila.
𓅪𓅪𓅪
Siang ini panas sangat terasa, Aira bahkan sudah dua kali membuat es teh. Awalnya dia ingin mengajak kakaknya, tapi dia urungkan karena Zero sudah memiliki janji.
"Huwa romantis banget sih!" teriak Aira membuat Bunda Zahra yang lewat di depan kamarnya masuk.
"Apa yang romantis?" tanya Bunda Zahra.
Dengan sangat antusias, Aira menunjukkan novelnya pada Bunda Zahra. "Ini nih Bunda, cowok fiksi Aira baru aja sah. Kan romantis Bunda, mereka tuh enggak ada pacaran. Si cowok langsung lamar si cewek."
Bunda mengangguk paham.
"Romantis banget kan Bunda?" tanya Aira meminta pendapat bundanya.
"Lebih romantis lagi, kalo itu nyata dan Aira mau terima lamaran dari laki-laki baik yang sudah berani datang ke rumah untuk lamar Ai."
Setelah mengatakan itu, Bunda Zahra pamit keluar untuk memasak makan siang. Perkataan Bunda Zahra terasa sangat mengena di hati, dia jadi teringat pada pemilik asli Bobo. "Bo, Ai punya hak buat tolak kan? Ai enggak harus terima semuanya kalo Ai aja enggak yakin sama diri sendiri."
Aira tersenyum menatap Bobo, "Ai mau bantu Bunda dulu ya, Bo. Kamu diam aja di sini, tungguin Ai balik lagi bacain novel."
Baru aja akan keluar, ponselnya berbunyi. Tertera nama 'Kak Jihan' tanpa pikir lama, Aira langsung mengangkatnya. "Hallo! Assalamualaikum Kak Jihan," salam Aira.
"Wa'alaikumussalam warahmatullah, apa kabar Ai?"
"Alhamdulillah baik," jawab Aira dan balik bertanya, "Kakak sama Umma apa kabar?"
"Alhamdulillah baik juga, kemarin Abang ada cerita. Ketemu kamu di Kota Tua, bener?"
"Iya, Kak." Aira kembali mendudukkan dirinya di atas kasur. Sejujurnya Aira bingung mau menjawab apa, karena memang itu kenyataannya. Dia bahkan masih sangat ingat, bagaimana wajah khawatir Zaidan. Aira menghela napas, dia bingung. Kenapa Zaidan sampai sekhawatir itu.
"Kakak enggak main lagi ke Jakarta?" tanya Aira mencoba mengalihkan topik, karena Jihan pasti akan bertanya tentang Zaidan lagi.
"Hem, belum ke pikiran sih. Pasti bakal ke Jakarta kalo Abang nikah."
Jihan menjawab dengan asal, karena dia tidak tahu untuk apa dia harus ke Jakarta jika bukan orang tuanya atau Zaidan yang menjadi alasan.
"Bang Zai suruh nikah aja kalo gitu, Kak."
"Nikah sama siapa? Kamu aja enggak mau sama Abang."
Aira yang mendengar jawaban Jihan hanya bisa meringis. Dalam hati bersyukur karena mereka berbicara lewat telepon. Jika langsung mungkin Aira sudah tidak punya nyali untuk bertemu langsung.
"Ya masa enggak ada Kak? Mana mungkin Bang Zai enggak ada deket sama perempuan," jawab Aira mencoba santai. "Kalo enggak, jodohin aja."
"Jodohin?"
"Iya, kalo misal emang enggak ada yang mau sama Bang Zai."
"Jodohin sama kamu aja gimana, Ai?"
Aira langsung menenggang, dia tidak tahu harus menjawab apa. Dan sangat pas, Bunda Zahra memanggilnya.
"Maaf, Kak. Ini Bunda panggil, Ai tutup ya. Assalamualaikum." Aira langsung menutup panggilan tersebut dan menaruh ponselnya sembarang.
🐨🐼, 15 April 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Senyum Batavia [END]
RomanceSetiap manusia memiliki takdirnya masing-masing. Pertemuan, perpisahan, semua itu tidak lepas dari yang namanya takdir. Di bawah langit yang cerah di Kota Tua, seorang pria tidak sengaja melihat seorang gadis yang masuk ke dalam frame kameranya. Ses...