BAGIAN LIMA

2 1 0
                                    

Suara yang nyaris menutupi kicauan burung itu bergemuruh di telinga Baskara. Dari arah jendela tua yang sedikit berdebu tepinya, langit belum menyambut matahari. Sementara Dahayu, di bawah sana tengah membuka lagi kopernya.

“Baru jam berapa sih?” Baskara mendudukkan tubuhnya, melihat kilauan rikma api itu sibuk di sana. “Baru jam tiga pagi,” balas Dahayu diikuti tertawa, membuat si sulung kembar menghela napas kesal. Sia-sia dirinya menyambut matanya dengan Dahayu yang mengesalkan.

Walaupun begitu, Baskara tetap turun dari ranjang. Sambutan dini harinya ia gunakan untuk menemui Moksia yang tidak pernah absen menatapnya walau tak berkicau.

“Kamu mau membawa burung itu juga?” tanya Dahayu sembari menutup kopernya. Lalu berdiri dan berkacak pinggang melihat Baskara si kembar anehnya.

“Menurutmu?”

Dahayu menaikkan sebelah alisnya seraya menjawab, “Stress nih, sekolah jelas tulis kalau nggak boleh bawa hewan peliharaan, kalau ada apa-apa? Yang tanggung jawab siapa? Kalau hilang? Kalau kabur? Kalau terbang?”

“Moksia nggak bakal terbang sembarangan, nanti aku taruh tas kecil. Aku sudah sediakan tempat untuknya,” sangkal Baskara.

“Gila aja, Baskara? Itu hewan,”

“Yang bilang ini tumbuhan siapa?” sembari Baskara membuka sangkar Moksia, “Aku akan tetap membawanya—”

Kalimatnya terpotong tiba-tiba.

”Jika Dahayu sudah bilang tidak maka tidak, Baskara. Jangan membantah,” Kedua kembar itu langsung menoleh ketika sang ibunda menyahut dari arah pintu. Baskara mengernyitkan dahinya. Kesal sudah jika di situasi di mana ia tidak bisa mengucap kekesalannya karena terhalang Dahayu.

“Kan.. dengerin bandel!” ejek Dahayu menunjuk Baskara. Si pemuda mengeratkan giginya kemudian menatap sang ibunda saksama. Wajahnya pucat namun amat rapi seperti tertata dalam waktu semalaman, akan tetapi jejak aneh tertinggal. Bibirnya tidak terlalu merah seperti tenaga perempuan itu habis terkuras, matanya menatap Baskara satu, menguncinya. Iris matanya hitam legam hingga tak terlihat seperti hidup.

“Baskara.. Dahayu..” kedua anaknya menoleh. “Jaga diri kalian dan jangan terluka, jangan bertemu seseorang yang memiliki darah biru murni di sana, mereka berbahaya. Kalian anak-anak saya, dan saya enggan kalian terluka di sana.... Ibu mencintai kalian,” sambung sang ibunda, berlutut lalu dipeluknya oleh Dahayu. Baskara ingin melangkah namun kakinya berat, ia menoleh pada Moksia kemudian tetap pada akhirnya melangkah memeluk sang ibunda.

“Kami akan menjaga diri baik-baik,” ujar Dahayu mengeratkan pelukannya.

Baskara memeluk sang ibunda, entah mengapa napasnya sedikit memburu seperti seseorang yang kepanasan. Segera Baskara lepaskan, ia dapati tatapan sang ibunda fokus padanya, jaraknya dekat hingga Baskara hampir meloncat kaget. Seperti sebuah dendam. Kekesalan yang bertumpuk.

Namun sedetik kemudian, tingkah sang ibunda kembali seperti memiliki semula. Baskara menoleh sedikit pada sangkar burung Moksia, ia dapati juga Moksia yang menatap fokus pada Ajeng ; sang ibunda.

Baskara merasakan keanehan sejelas ini. Akan tetapi sialnya, Baskara tidak bisa berbuat banyak. Berusaha seperti apa pun mencari celah mengenai pertanyaan di benaknya, Baskara tidak menemukannya. Lingkup rumah seakan memiliki kamera pengawas yang tak terlihat mata telanjang.

“Kamu mengerti, Baskara?” lamunannya terurai. “I-iya.. baiklah,” Baskara menatap balik sang ibunda. Kilauan mata tak hidup itu seperti memberikan sebersit cahaya merah. Semakin dibuat bingung oleh perempuan ini, begitu Baskara pikir. Suara lembut yang dilontarkan masih tak mampu mengalahkan kebencian yang bersemayam di hati Baskara.

Trip to BaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang