BAGIAN TIGA

2 1 0
                                    

“Ibu, ayah mengapa tidak pernah pulang?”

“Sebentar lagi dia akan pulang.”

“Ayah kapan akan pulang? Teman-temanku semua merayakan hari ayah. Aku juga ingin bertemu ayah!”

“Ayah sibuk.”

“Ayah kenapa tidak pernah pulang? Apa dia tidak peduli dengan kita? Paling tidak dia bisa kan memberi kabar pada kita? Jahat. Atau.... Dia sudah mati—”

“BASKARA!”

Ia mengernyitkan dahinya. Teringat lagi awal dirinya tak pernah lagi merasakan akur di dalam hatinya kepada sosok ibundanya. Tamparan yang meninggalkan luka beberapa kali waktu itu sukses membabi-buta perasaannya. Kecamuk benci terasa. Baskara kecil, sepolos kain sutra yang baru saja dibuat, sebersih mata air gunung, seketika menjadi sosok yang paling benci pada sang ibunda. Ia tersungkur. Anak sekecil itu mendapatkan memori yang tak bisa ia lupakan hingga saat ini. Lukanya tak kunjung kering.

Sakit.

Bahkan untuk seorang Baskara kecil, pikirannya semakin benci ketika selalu melihat saudara kembarnya — Dahayu selalu disanjung oleh sang ibunda. Berbeda dengan dirinya yang selalu bertarung sendiri. Seperti bertarung dalam hal akademik, olahraga, seni, bahkan hal kecil. Kemudian Baskara menjadi sosok yang sedikit gila. Ketika pikirannya tiba-tiba tak mampu ia kontrol disertai emosinya yang meluap, Baskara selalu mendengar suara sosok tidak jelas wujudnya. Membisikinya hal-hal yang menguntungkan dirinya. Selalu berulang-ulang.

Hingga Baskara jatuh sakit ketika mendengar bisikan itu. Ketika Baskara mengabaikannya, sosok itu semakin memburu Baskara layaknya rusa yang akan diterkam sang raja rimba.

Pernah suatu ketika, Baskara memuncak emosinya. Kepalanya serasa mendidih, entah meteran suhu sudah menunjukkan ke angka derajat berapa. Baskara ingin menangis namun air matanya tertutup dendam sehingga tidak keluar. Dirinya nyaris membanting pintu kamar, namun ia urungkan niatnya. Matanya terlihat lenggak-lenggok merah penuh sakit. Heterochromia itu menyala kosong menatap tubuh Dahayu yang terlelap di ranjang. Ketika pikiran Baskara berada di titik kekosongan, telinganya sedikit berdenging. Menciptakan tusukan kecil bertubi-tubi, tangan Baskara langsung menutupi telinganya. Sakit dirasanya. Kemudian samar-samar bisikan itu datang.

Lagi.

“Yen kowe pengen dadi sing utama. Siji-sijine cara yaiku singkirno opo sing dadi penghalangmu. Baskara, awakmu pengen to dadi sing utama? Aku weruh isi atimu (Jika kamu ingin jadi yang utama. Satu-satunya cara yaitu menyingkirkan apa yang jadi penghalangmu. Baskara, kamu ingin kan jadi yang utama? Aku tau isi hatimu),” tiupan bisikan itu lembut seperti seseorang yang berbisik. Baskara menggelengkan kepalanya, ia berusaha sadar. Menjaga kesadarannya sendiri atau dia akan termakan penyesalan.

Merasa diabaikan. Sosok itu berbisik lagi. “Baskara. Menungso kui mesti pengen ketok moto, mesti pengen dianggep. Menungso kui urip gawe nguber opo sing de’e pengen. Lapo wedi? Seleksi alam kui kejam, yen awakmu gak iso bentengi awakmu, gak iso nyingkirne uwong, awakmu sing kalah mergo opo? Dasare menungso kui egois (Baskara. Manusia itu selalu ingin terlihat mata, selalu ingin dianggap. Manusia itu hidup untuk mengejar apa yang dia inginkan. Kenapa takut? Seleksi alam itu kejam, kalau kamu nggak bisa membentengi dirimu, nggak bisa menyingkirkan orang lain, kamu sendiri yang kalah karena apa? Pada dasarnya manusia itu egois),” Baskara diam.

Kali ini sosok itu tersenyum puas. Baskara terjebak dalam bimbangnya sendiri. Pikirannya tak mengikuti hati seperti orang gila. Satu kehitaman muncul di benaknya. Baskara kecil yang hendak menginjak sepuluh tahun dalam empat hari itu kemudian melangkah mendekati meja belajarnya yang hanya berupa meja kayu biasa, berkaki empat dengan corak Jawa. Hening malam tak menjadi penghalang Baskara melakukan hal berisik tanpa takut teguran. Sosok itu kian melebarkan senyumnya hingga gigi-gigi taringnya bermunculan lebih jelas. Mata bulatnya meniti Baskara yang menatap kosong barang-barang sekolah di meja. Sedari tadi belum dibersihkan sehingga banyak alat-alat sekolah yang tergeletak.

Trip to BaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang