BAGIAN TUJUH

4 1 0
                                    

Melanjutkan perjalanan, destinasi selanjutnya adalah Pantai Pandawa. Sebuah pantai dengan sambutan patung kelima putra Raja Pandu dan dua istrinya yakni Dewi Kunti dan Dewi Madri. Mulai dari pangeran Yudistira, Werkudara, Arjuna, lalu sang kembar pangeran Nakula dan Sadewa. Patung-patung tersebut berada di cekungan tebing tepat di seberang Pantai Pandawa.

Matahari sangat terik ketika siang sudah mencapai di atas kepala. Suhu bisa mencapai 30 derajat ke atas, betapa panasnya dapat dirasakan. Pantai yang berada di daerah Kuta Selatan ini juga tak kalah menarik dari Tanah Lot. Cuaca yang panas mengundang perhatian para turis untuk menyegarkan tubuh dengan sapuan ombak kemudian memanjakan lidah dengan botol anggur yang terjual bebas di toko-toko tepi pantai.

“Ayo turun, panas nanti di bus,” ajak Baskara, beranjak dari tempat duduknya, melihat Dahayu yang masih bersandar santai. Sejak perjalanan dari Tanah Lot, Baskara sedikit ganjil ketika Dahayu lebih sering tidur dibandingkan cerewet mengisi bus. Ketika Baskara bertanya Dahayu hanya menjawab jika dirinya hanya kelelahan.

“Iya iya turun berisik,” ketus Dahayu, ikut beranjak kemudian segera turun dari bus diikuti Baskara di belakang.

“Ayo adik! Turun dan kita lihat pemandangan Pantai Pandawa ini. Ada waktu satu setengah jam untuk kalian, silakan digunakan untuk bersenang-senang adik-adik!” seru pria yang menjadi pemandu wisata itu. Namanya Bli (kakak laki-laki) Ageng, udeng putih dengan beberapa torehan corak batik dan kemeja lengan pendek putih menjadi seragam untuk Bli Ageng dan tour guide Bali lainnya. Tak terkecuali Cakra tentunya.

Kehadiran tour guide Bali sudah menjadi hal wajar ketika agenda study tour telah dimulai dan berhenti di Tanah Lot sebagai awal perjalanan.

“Lagi nggak sehat apa gimana? Lemes banget dari tadi, tumbenan juga tadi tidur di jalan?” tanya Baskara memastikan bahwa perasaan jeleknya hanyalah sebuah gangguan seperti yang selalu ia alami, dalam artian hanya perasaan biasa. “Sehat, cuma capek aja,” jawaban yang sama dari Dahayu. Baskara mengerutkan keningnya, tak yakin. Dahayu benar-benar harus berada dalam pengawasannya kali ini. Sepertinya hal ganjil yang Baskara rasakan patutnya tidak diabaikan.

“Makan habis ini, sarapan juga berapa sendok tadi. Selesai makan baru jalan-jalan terserah,” tutur Baskara diangguki sahaja oleh Dahayu.

“Aneh...”

**

“Ampun.....” rintihan di atas muntahan darah itu terus bergema di ruangan yang telah berantakan tak karuan itu. Deru napas terdengar disertai ketakutan. Seperti belenggu rantai, tiap suara yang dikeluarkan rasanya tercekat di tengah tenggorokan. “S-saya... Saya mohon...” rintihan itu lagi. Tangannya memohon di hadapan yang lebih berkuasa. Sekelilingnya sudah penuh cipratan darah dari tubuh sang empu yang dihiasi cambukan.

Perempuan itu sudah berantakan terurai seperti hendak dibuang. Berdiri di hadapan perempuan itu, makhluk bingas yang menggelegar suaranya amat mengerikan. Kuku-kuku panjangnya menggeliat seakan bisa menusuk ke mana saja. “Sudah kukatakan padamu, Ajeng. Bukankah aku sudah melarang agar anakmu tidak mendekati sukma itu?” kemudian pecahlah bingkai foto yang berada di atas laci. Suara napas seperti binatang buas kelaparan itu membuat perempuan terurai bergidik ketakutan. Lilin yang sedari tadi dinyalakan pun sudah pendek dan lelehnya meluber seperti bendungan pecah. Tangannya gemetaran menutupi wajahnya, bersimpuh rapuh di hadapan sosok itu.

“Saya— Saya tidak menyangka jika dia bertemu dengan sukma itu, Rangda,” Kembali memohon ampun, berkali-kali menggelengkan kepalanya menolak kemurkaan sosok itu padanya.

“Ini tanggung jawabmu! Aku bisa saja merenggut semua darimu, Ajeng. Jangan pernah bermain-main denganku! Ku berikan kesaktian berupa ilmu ajian agar kamu tidak mati dan kamu mempermainkanku?”

Trip to BaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang