BAGIAN DELAPAN

1 1 0
                                    

“Aku janji akan pulang..”

Lirihan terakhir itu menjadi belenggu dan pecut yang kini melukai tubuh perempuan itu. Seorang perempuan yang berjuang atas perasaannya, menuntut hatinya untuk mencari seperti jarum yang tertimbun jerami. Ia ingat mengenai janji yang diucapkan suaminya itu dikala dirinya juga menitipkan sebuah batu permata, digenggamkan di tangan suaminya.

“Kamu janji?” perempuan yang lebih kecil itu menerima usapan lembut di kedua pipinya dari sang kekasih lalu bersimpuh untuk mencium perut perempuan itu.

“Aku janji,” lalu dibukakan telapak tangan laki-laki itu dan diletakkan sebuah batu permata kecil, hanya sebesar jempol. Ia menatap heran.

Perempuan itu tersenyum, “Aku menyayangimu. Semoga Tuhan memberikanmu keselamatan, di dalam doaku akan selalu ada namamu, Manggala.”

“Akan aku bawa kemenangan itu untuk kerajaan dan melihat anak-anak kita melihat bagaimana sang raja menjadi singa di atas tanah pertempuran,” tutur sang empu, membuat perempuan itu tertawa kecil. Manggala kemudian menarik kepala perempuan itu, mencium pucuk kepalanya dengan manis seraya mengelus perut besar itu kemudian.

“Duhai Ajeng permataku, namamu akan menjadi musuh yang paling ditakuti di medan perang,” tutur Manggala lalu diangguki perempuan itu. Kemudian diam sejenak sebelum keduanya saling melempar senyum dan derap langkah Manggala berbalik dari arah istrinya tersebut.

Perut besar itu lebih dari biasanya karena kondisi yang didapat adalah bayi kembar setelah beberapa bulan sebelumnya telah diperiksa oleh tabib kerajaan. Kembali ke dalam, ke sebuah istana megah dengan satu ratu utama bernama Ajeng Kusuma Purnama.

Usai mendapatkan serangan kejut dari lawan, ajakan perang telah dibaca oleh Manggala selaku raja dari kerajaan Bali. Merasa kekuasaan terancam, pertemuan untuk perdamaian sudah diajukan oleh Manggala namun musuh ternyata enggan berdiskusi secara baik-baik dan tetap melanjutkan peperangan lalu pecahlah pertempuran di Bali. Peperangan itu menghabiskan waktu cukup lama karena pasokan prajurit yang luar biasa dan ketahanan masing-masing kerajaan sukar untuk saling ditembus sehingga menghabiskan hampir satu minggu lamanya. Sebagai seorang perempuan yang mengalami hamil tua, pikirannya meracau mencari Manggala yang tak kunjung pulang. Ketika matahari terbenam Ajeng selalu melihat ke gerbang utama istana, harap-harap sosok suaminya itu telah pulang bersama pasukannya. Akan tetapi hasil yang didapat selalu nihil. Matanya masih tak menemukan kilauan mahkota suaminya dan telinganya tidak mendengar tapak kuda mendekati istana.

Hampir mendekati tiga minggu, isu-isu mengenai peperangan mulai terdengar dari mulut ke mulut dari telinga rakyat sipil hingga telinga lainnya lalu sampailah ke kawasan kerajaan. Ditambah adanya anggapan tentang beberapa senjata yang kembali tanpa tuan, lalu cerita orang-orang yang bepergian laut melihat kepulan asap dari arah Pulau Jawa. Entah benar atau tidak namun kabar itu tetap membuat para menteri serta seisi istana mengkhawatirkan ratu mereka ; Ajeng yang tengah mengandung pada bulan-bulan terakhir.

Para pelayan pribadi dikerahkan oleh menteri kerajaan yang menggantikan tugas raja untuk mengawal Ajeng demi kehamilannya.

“Tuanku.. di mana tuanku.. suamiku.. Manggala?” rintihan di balik tidur Ajeng selalu tak luput dari nama Manggala, suaminya yang masih tak kunjung kembali.

“Manggala.. tuanku.. suamiku..”

**

Matahari bersinar menyoroti tepat di wajah Dahayu ketika Baskara rupanya menyerobot masuk ke kamar Dahayu dan menemukan saudaranya itu justru masih terlelap enaknya. “Bangun, sarapan dan setelah ini berangkat. Males banget jadi cewe,” ejek Baskara menarik tangan Dahayu paksa yang belum mengumpulkan nyawa sepenuhnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 01 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Trip to BaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang