"Lapor kapten, musuh sudah dekat." kataku dengan tegas.
"Baik Octo, jangan sampai dirimu lengah, kita sedang dikepung oleh musuh." balas kapten.
Aku pun mulai bersiap siap untuk membidik musuh dengan senapan laras panjangku, dengan kemampuan untuk melihat 10x lipat sehingga aku bisa melihat jelas wajah musuhku.
"Kapten, musuh sudah terkunci, bersiap untuk menembak." kataku pelan sembari menatap musuhku.
Namun... Ketika dia berbalik badan, ada senyuman indah yang terukir di wajahnya. OLIVIANA?! Dia adalah musuhku!?
"Hayooo siapa itu Oliviana. . . " ucap ibu sambil tertawa kecil. "Ti-tidak ada bu, bukan siapa-siapa." jawabku dengan malu.
Ternyata perang itu hanyalah mimpi, namun terasa begitu nyata. Begitu juga dengan senyum- ah bicara apa aku ini...
"Pahh anak kita sudah laku." Teriak ibu dari dalam kamarku.
"Ibu ini ada-ada saja, aku hanya mengigau bu." Balasku dengan marah.
"Iya deh yang udah laku, dulu ibu aja ketemu ayah pas udah kuliah." Sahut ibu sambil tersipu malu. "Sudah sana pergi ke sekolah, udah ditunggu Olivi." Goda ibu kepadaku
"Padahal aku ini berniat untuk belajar lho bu, tidak mau pacaran dulu!" Sahutku kesal.
Segera aku pergi ke kamar mandi lalu bersiap-siap untuk sekolah. Aku sudah terbiasa untuk menata jadwalku di malam harinya supaya saat pagi hari aku tidak tergesa-gesa. Setelah sarapan dengan sebutir telur rebus, aku pun siap untuk menghadapi hari keduaku bersekolah.
Brrrtttt.... Suara motor butut ayah yang melaju di dalam keheningan pagi.
'Eh itu seperti sepedanya Oliviana' gumamku dalam hati melihat sepeda keranjang merah.
Setelah sampai di gerbang, aku pun turun dari motor dan berpamitan dengan ayah. Tak lama kemudian suara motor butut ayah mulai menghilang.
Aku sengaja datang awal untuk berkeliling sekolah terlebih dahulu. Ternyata sekolahku cukup besar dengan dua gerbang di depan dan belakang.
Tadi aku turun di gerbang depan lalu melihat bangunan megah yang berfungsi sebagai kantor utama, aula, dan juga lobby. Namun di tingkat keduanya ada kelas-kelas mungkin, karena terlihat banyak jendela. Lalu aku melewati lobby dan mengingat dimana kelasku.
Ternyata aku harus menuruni tangga terlebih dahulu, lalu belok ke kanan setelah itu belok ke kiri. Di sebelah kiri ada aula dan juga seperti kandang burung mungkin. Lalu sebelah kanan pula ada taman di tengah-tengah kerumunan kelas, suasana disitu sangatlah nyaman dan asri.
Namun aku tidak langsung ke kelas, melainkan akan pergi lurus yang akan menuntunku menuju lapangan luas. Di tengah-tengah lapangan tersebut ada tiang bendera yang menjulang tinggi ke atas.
Di sebelah kanan aku melihat lapangan basket, lalu sebelah kirimya ada lapangan futsal. 'Wah besar juga sekolah ini, tidak sia-sia aku masuk kesini' gumamku dalam hati.
Terlihat juga bangunan kelas yang besar di seberang lapangan upacara, tanpa pikir panjang kulangkahkan kakiku kesana.
Setelah itu ada suara keras, seperti ada benda yang jatuh. Suara tersebut berasal dari belakang gedung kelas yang besar tersebut. Aku pun mengecek apa yang jatuh disana, lalu terlihat ada seseorang yang jatuh.
Mataku tidak terlalu jelas untuk melihat karena rabun hanya sekitar 0,75 jadi aku tidak mau memakai kacamata. Namun aku tetap mendekatinya dan mulai bertanya keadaanya.
"Hey nyonya apakah kau baik-baik saja?" Tanyaku dari kejauhan.
"Kau pikir setelah jatuh begitu akan baik-baik saja?!" Teriaknya dengan keras.
'Duh mataku ga enak rasanya' gumamku sambil berpikir apakah aku benar-benar harus membantunya? Ini sangatlah merepotkan.
Hati nuraniku berkata untuk melakukan demikian. Walau begitu aku sedikit kesal karena dia menjawab pertanyaanku dengan keras.
'Yang benar saja aku harus membantu orang seperti itu' gerutuku dalam hati.
Tapi yasudahlah...
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Of You
RastgeleNamaku Octopius Arsyad Umurku 13 tahun, aku masih SMP Hampir semua teman mengacuhkanku Tetapi tidak dengan Dirimu...