Selamat puasa bagi yang menjalankan. Mohon maaf, aku mengaku salah karena membuat cerita seperti ini 🥲. Ingatlah, ini tidak nyata. Jangan terlalu terbawa, ya🤡 Disarankan membaca cerita ini saat sedang tidak berpuasa, atau setelah berbuka, atau setelah lebaran juga bisa 🥲🤟🏻 (bahasa isyarat I love you)
⚠️Trigger Warning: self harm, harsh words, disturbing content. Boleh dibaca sekilas-sekilas⚠️
.
.
.
.
Nyaris satu jam. Kuku-kuku Zafran belum berhenti menekan dan menggaruki area-area pergelangan tangan kirinya. Bagian dalam, samping, dan atas pergelangannya sudah memerah-merah, terkelupas, ada yang sudah bertitik-titik darah. Ia tidur menyamping sambil menatap hampa meja belajar—meja tempat ia bertumpu saat orang sinting itu melakukan hal keji padanya.Air mata Zafran terus berjatuhan, membuat bantal basah cukup lebar, juga napas tersumbat cairan. Sunyi sepi, hampa, cemas, malu, dan tak bertenaga. Memikirkan nasibnya esok akan bagaimana, rasanya ia ingin menghilang.
Pukul dua pagi.
Haruskah Zafran terus bungkam? Ia terancam dan ketakutan, merasa malu pula karena diri sudah rusak dan tak berharga. Ia ingin seseorang melindunginya. Namun, ancaman Kemal yang bangsat terus menghantuinya. Kemal tega menyakiti dirinya seperti ini, berarti ia tega juga menyakiti Sahih dan Mama.
Zafran tidak mau hanya karena dirinya, semua orang merugi dan tersiksa. Namun tidak munafik, ia takut pada masa depan. Semua harapan lenyap. Ke mana harus sembunyi dari Kemal? Apa melarikan diri saja? Meninggalkan Mama dan Sahih demi kebaikan mereka, demi kebaikan diri juga.
Zafran sayang, itu kesimpulan yang salah.
Pukul setengah tiga pagi.
Pergelangan sudah luka-luka, tapi Zafran tidak sadar. Namun gemetar dan sensasi ngeri yang ia rasakan malam kemarin, jadi tidak datang. Ia menenang dalam kesakitan.
Masih terjaga. Sudah dua hari satu malam di tambah malam ini, tidak betul tidurnya. Pikiran tidak pernah tenang. Bagai cambukan yang tak mau berhenti melukai jiwa raga, terulang-ulang terus kejadian yang Kemal lakukan padanya.
Kemal biadab. Matilah digerogoti binatang-binatang buas di dalam neraka.
Pukul tiga pagi.
Zafran merasa tangan kirinya sakit, bukan cuma pedih. Ia pun refleks menilik. Astaga. Sudah luka dan berdarah, akibat garukan-garukan lambat tapi menekannya sendiri, yang ternyata ia nikmati tanpa sadar diri.
Pemuda itu segera duduk karena terkejut, lalu meringis sejenak sebab satu tusukan migrain datang di kepala bagian kanan. Kemudian, kembali fokus pada kondisi sekujur pergelangan yang entah bagaimana caranya bisa sehancur itu. Ia terkesima bingung beberapa waktu.
Puas heran akan tangannya, Zafran melihat jam dinding kamar. Ah, pukul tiga ternyata. Perasaan cemas kembali datang. Ini akan jadi hari ketiga.
Besok… aku harus jualan. Nanti Mas Fad cari aku. Langganan di taman juga pasti cari-cari…. Aku belum kasih uang dua hari ke Mama.
Tapi, kalau Bapak….
Aku pergi aja? Tapi ke mana?
Jantung lagi-lagi bertalu. Luka-luka di tangan kiri berdenyut-denyut. Namun, yang di pikiran lebih menusuk-nusuk.
Lantas, ekor mata kanan tak sengaja melihat kado Sahih di atas nakas sebelah lampu tidur. Ya, betul, kado itu belum tersentuh.
Mengabaikan kepedihan tangan kirinya, Zafran mengulurkan tangan kanan untuk meraih kado tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
DENGARKAN ZAFRAN SEBENTAR ✔️
General FictionMenjadi tunarungu tidak terlalu membuat Zafran sedih. Ada sebab-sebab lain. Baiknya menunggu bumi berbaik hati atau mati saja agar semua orang tak perlu melihatnya yang ternyata tak punya arti? Adakah yang akan menolong Zafran keluar dari keterpuruk...