16 - Tanjakan Melandai

832 122 54
                                    

Keesokan harinya….

Sepulang kuliah, Lily pergi ke Rumah Sakit Bina Sehat untuk menjenguk Zafran. Kata Sahih, ia juga di sana. Terhitung, sudah hari keempat Zafran dirawat. Setelah kemarin ada hal viral dadakan di Kompleks Lokanta—subjeknya adalah Darsih dan Kemal, Lily jadi terpikir anak-anak dua orang tersebut yang belum ia temui lagi setelah beberapa hari silam.

“Assalamu’alaikum, selamat sore,” ujar Lily pelan dan lembut. Membuka pintu dengan hati-hati, mengintip juga hati-hati.

“Wa’alaikumsalam.” Sahih membalas dan menengok.

Lily sontak mengernyit saat bertatapan dengan Sahih, lalu tersenyum heran sambil menghampiri. “Kenapa, Sah? Kok mukanya ketekuk gitu?” tanyanya.

“Kesel aku sama Zafran. Susah banget disuruh makan! Dari pagi belum mau makan nih orang,” sinis cowok itu sambil menunjuk kakaknya.

Lily langsung beralih sorot, melihat Zafran menunduk perlahan sambil meremas jari-jemarinya—sedikit dicubit-cubit juga dengan kuku. Terlihat perbedaan signifikan pada dua tangan itu. Yang kiri banyak luka-luka garukan dan cubitan kuku, yang kanan bengkak sebab sudah lama diinfus.

“Zaf… hei,” panggil Lily lembut, menyentuh pelan lengan temannya.

Zafran mengangkat kepala, menampilkan wajah yang mengecil akibat kian kurus dan tirus.

Lily berdiri di dekat ranjang Zafran. “Kenapa masih males makan aja?” tanyanya sambil berhadapan jelas.

Zafran tersenyum sungkan, lalu menggeleng saja dan menunduk sekilas.

“Kamu penginnya makan apa? Mau makan apa?” Lily menambahkan tanya.

“Nggak.” Zafran melambai singkat dengan tangan kirinya.

Ekspresi Sahih sebal, ekspresi Lily tersenyum sabar.

“Nanti aku go-food. Go-food,” jelas Lily, kemudian tersenyum lebar.

Zafran menggeleng lagi. “Jangan. Nggak usah repot-repot,” katanya.

Lily pun diam, berhenti menawarkan. Ia tatap saja sang kawan yang kini kembali menundukkan kepala. Kemudian, sadar akan satu hal. Ia lantas mencolek Sahih.

“Apa?” sahut Sahih malas.

“Zafran udah bisa duduk?” bisik Lily.

Sahih pun balas berbisik dan menutup mulut dengan telapak tangan agar tidak terbaca Zafran. “Alhamdulillah, udah.”

Lily berbisik lagi, “Sejak kapan?”

Gantian lagi Sahih, “Kemarin.”

Zafran menonton bisik-bisik yang dilakukan Sahih dan Lily. Tidak marah atau merasa terabai, justru lucu melihat dua manusia lebih muda darinya itu ada di sini, berinteraksi menggemaskan dan menemaninya melewati hari.

Setidaknya, walau sebentar, ada ketenangan hangat singgah di hati Zafran yang selalu penuh kesedihan diam-diam. Setidaknya, meski sedikit, ada memori indah menghiasi otak yang selalu mengulang-ulang rekaman kejadian pahit yang tengah menerjang.

Terus terang, pencetus Zafran sangat enggan makan kecuali sudah amat kelaparan adalah rasa jijik dan sensasi mual ketika teringat mulutnya pernah disumpal Kemal dengan… kalian mungkin tahu jawabannya.

Alhasil, Zafran selalu sukar makan dengan bernafsu. Apa pun yang masuk ke mulut mengingatkannya pada satu aspek itu. Kasihan sekali. Zafran harus dibantu dokter ahli jiwa secepat mungkin. Anak baik itu tidak pantas dinodai dan menanggung semua ini.

Namun, Zafran luar biasa malu mengatakan alasan sebenarnya tidak mau makan. Bahkan, pada adik atau mamanya. Merasa tidak enak, menganggap hal itu amat tabu dan memalukan. Pasti orang-orang akan jijik mendengarnya, akan jijik juga padanya. Ia tidak mau Mama, Sahih, atau siapa pun jijik pada dirinya. Zafran sedang sangat ingin disayang sekarang, ia takut orang-orang mengabaikannya jika tahu terlalu dalam tentang detail-detail menjijikkan yang dialaminya.

DENGARKAN ZAFRAN SEBENTAR ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang