Sebelumnya sudah dikatakan, ada mendung di langit bagian barat. Sekarang, mendungnya lebih lebar. Harusnya di jam begini, ada pemandangan elok ala senja. Sayangnya, lembayung senja disembunyikan kerumunan awan-awan kelabu tua.
Kenyang makan es krim segelas dan berbincang cukup banyak, Zafran kini berjalan kaki lagi, menemani Karisa kembali ke rumah sakit untuk mengambil sepeda motornya. Sama seperti tadi, Karisa melangkah di depan dan Zafran di belakang.
Belum ada angin dan hujan, Karisa memutar cepat tubuhnya 180 derajat. Bertepatan Zafran tengah menatap ke bawah. Mereka bertabrakan badan dengan badan, untung tidak muka juga.
Kelopak mata Zafran terbuka karena kaget sebab Karisa berputar cepat sekali tanpa aba-aba.
“Zaf, coba lihat sana!” Karisa menunjuk langit.
Zafran refleks lagi menatap ke atas, kemudian kembali menatap Karisa.
“Udah mau hujan. Coba tadi kamu mau aku boncengin!” keluh Karisa dengan muka bete.
Merasa disalahkan, Zafran langsung mempertemukan dua telapak tangannya. “Maaf,” katanya menyesal.
Sedetik kemudian, hujan yang tidak gerimis dulu melainkan langsung besar, sontak turun. Aroma petrikor menyerang hidung. Titik-titik besar air kontan membasahi helai-helai rambut, ujung tangan minta maaf Zafran, serta baju-baju mereka.
Karisa membuka mulut dan matanya besar-besar. Tidak menyangka pada hujan yang datang sungguh semena-mena.
“Lari!” Karisa meraih tangan Zafran cepat, lalu membawa temannya berlari segera.
Zafran otomatis berlari juga lantaran tangannya sudah digondol Karisa.
Mereka pun berlarian, mencegah hujan semakin membasahkan. Namun, yang ada mereka tambah basah saja. Zafran menahan tawa, lantas mengeraskan tangannya dan menghentikan langkah. Langkah Karisa ikut terhenti, ia berbalik ke belakang.
“Kenapa?” Muka Karisa berkerut karena titik-titik hujan yang tajam.
Zafran melepaskan tangan mereka, membuat isyarat-isyarat tangan dan mempercepat ujaran, “Nggak usah lari. Udah basah. Nanti kepeleset!”
Karisa terdiam dengan gerak mata lambat, mencerna. Kemudian, kembali menatap Zafran yang wajah dan rambutnya sudah ditetes-tetesi air hujan. Basah kuyup semua.
Zafran tersenyum, lebih lebar, lalu mengeluarkan tawa kecilnya. Ia menertawakan keadaan mereka. Rambut panjang Karisa tampak terkelompok-kelompok karena basah, sedang membikin ekspresi bingung bercampur sebal. Lucu sekali melihatnya.
“Jangan marah. Maaf, ya,” kata Zafran, menyatukan dua telapak tangan lagi. Namun, jelas betul ia menahan tawa.
“Iiih… kok malah ketwa, sih!” Karisa memukul lengan Zafran.
Zafran tidak melawan. Ia menyumbat tawanya dan kembali minta maaf sebab takut Karisa marah betulan.
“Ya udah, aku maafin. Tapi, kamu harus mau aku bonceng sampai rumah!” omel gadis itu dengan isyarat-isyarat tangan buatan sendiri.
Makin lucu saja alih-alih seram, tapi Zafran tidak tertawa lagi. Bisa gawat kalau Karisa mengadu pada Mas Fad, nanti Zafran dimarahi.
Dengan terpaksa, Zafran menganggukkan kepala. Menyetujui hukuman Karisa yang menurutnya memalukan.
Karisa langsung tersenyum lebar hingga giginya terlihat. Memberikan dua jempol di depan Zafran, lalu berbalik ke depan dan melanjutkan langkahnya yang lebih santai. Memilih menikmati sang hujan.
Zafran menatap punggung kecil Karisa kini berjalan lebih riang. Ia menghela napas, lantas tersenyum mengalah sembari melanjutkan langkah di belakang si perempuan. Geleng-geleng kepala, ternyata Karisa tidak marah betulan. Diiakan maunya, langsung senang.
![](https://img.wattpad.com/cover/350831714-288-k380990.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
DENGARKAN ZAFRAN SEBENTAR ✔️
General FictionMenjadi tunarungu tidak terlalu membuat Zafran sedih. Ada sebab-sebab lain. Baiknya menunggu bumi berbaik hati atau mati saja agar semua orang tak perlu melihatnya yang ternyata tak punya arti? Adakah yang akan menolong Zafran keluar dari keterpuruk...