01 - Senyap Tajam

3.7K 255 118
                                    


⚠️NOTES & TRIGGER WARNING⚠️

• Cerita ini di-rate mature karena mengandung unsur kekerasan seksual, suicidal, self-harm. Tidak diperuntukkan untuk anak di bawah umur dan orang-orang yang mungkin terganggu dengan unsur-unsur di atas.

• Tidak disarankan untuk lanjut membaca jika tidak nyaman dengan tema, alur, atau adegan-adegannya.

• Kiranya boleh memberi vote dan komentar apa saja untuk meramaikan. Terima kasih sebelumnya, ya.

• Cerita ini murni buatan purpleliyy Jika ada kesamaan dalam bentuk apa pun, itu hanya sebuah kebetulan. Silakan tambah ke perpustakaan jika berminat membaca cerita selanjutnya.

✨️

Sepasang kaki gemetar di belakang meja belajar kamar. Napas memburu dan terengah-engah. Ingin menangis, tapi tak bisa. Pinggulnya yang menungging perlahan-lahan ia tegakkan, menahan rasa perih yang sebenarnya sungguh menyakitkan. Namun, para reseptor raga bingung mesti menyampaikan yang mana pada otak. Sakit pada bagian belakangnya atau sakit pada perasaan dan jiwanya.

Kaki pemuda itu masih gemetar. Kelelahan, ditambah keterguncangan mengitari kepala. Ketidakberdayaan menekan seluruh jiwa. Gamang luar biasa. Lelah, iya. Juga, ketakutan dan trauma yang akan segera ia lahirkan. Namun, tak dapat menghindar. Diri itu terlalu penakut menghadapi apa pun di dunia.

Pria berusia 50 tahun menaikkan celana katun rumahannya. Menatap pemuda 19 tahun yang habis ia lecehkan dengan tatapan memuja, diiringi seringai dan kekehan berat yang menjijikkan.

"Istirahat. Nanti Bapak belikan obat." Tua bangka itu berkata dengan nada keayahan, dengan bahasa isyarat pula, dengan senyuman hangat pula. Semua orang baik akan muntah melihat kegilaan tingkahnya.

Zafran, nama pemuda itu. Ia tidak menyahut, hanya mengangguk. Mengambil celananya di sandaran kursi beroda—kursi meja belajar, lalu menutupi area depannya dengan kain celana. Menunduk, menunggu pria sinting itu keluar dari kamarnya.

Darsih, mamanya Zafran tidak ada. Sedang ke pasar membeli bumbu, sayur, daging, telur, dan ayam. Oh ya, kue ulang tahun juga. Besok adalah ulang tahun Zafran yang ke-20. Mamanya ingin masak yang enak-enak setelah sekian lama selalu tenggelam dalam depresi lantaran kehilangan banyak harta benda tiga tahun silam.

Malangnya nasib Sayangku ini. Belum bertemu dengan masakan Mama yang enak, yang telah lama absen dari lidah Zafran, sudah mendapat "hadiah" nista dari ayah tirinya. Mendahului hadiah-hadiah Mama yang pasti rasanya akan mengagumkan.

Sudah lama Mama tidak perhatian pada Zafran, sudah lama Mama tidak suka melakukan apa-apa, sudah lama Mama melupakan dunia di sekitarnya, semenjak restoran kebanggaannya terbakar tiga tahun silam karena sebuah kecerobohan.

Zafran meringis, menahan perih pada bagian belakang, tempat harga dirinya sebagai manusia baru saja direnggut paksa. Namun, kakinya tetap bergerak. Menutup pintu kamar dengan tangan bergetar dan kaki lemasnya.

Pemuda itu lantas menuju ranjang, membungkus diri dengan selimut, kemudian meringkuk di atasnya. Gemetar pada kaki terasa bertambah, merambat naik hingga tangan. Tangan-tangan itu pun ikut gemetar. Bibir juga. Tatapan kosongnya menatap meja belajar. Kejadian tadi terus berulang-ulang meski sudah berhenti semuanya. Tubuh pun berangsur dingin, napas mencepat, terus bergetar tak dapat ditahan, seakan menggigil karena demam.

Bukan demam. Ia tengah terguncang.

Tiba-tiba, pintu kamar Zafran terbuka lagi, membuat jantung pemuda itu berdebar kuat hampir lepas. Syoknya belum reda, apa pun akan merasa mengagetkan dan mengerikan.

Tua bangka bernama Kemal itu menghampiri Zafran di ranjang, membuatnya meringkuk kian gemetar. Pria itu berlutut, membuat wajah mereka sejajar agar Zafran dapat melihat gerak mulutnya dengan jelas.

"Berani kamu lapor Sahih, lapor Mama, atau lapor siapa pun, Bapak bunuh mama kamu. Bapak nggak akan dipenjara karena bakal bikin mama kamu seolah-olah celaka sendiri, di kamar mandi, di kamar, di jalan juga bisa. Atau biar Bapak bikin dia makin gila sekalian!"

Zafran tercengang dalam gemetar. Ia menggeleng-geleng dengan suara tak sempurnanya. Ujaran Bapak terlihat jelas.

"Makanya, diam. Ya? Ngerti, kan? Diam, di-am." Kemal kembali menekan dengan mata membesar penuh ancaman.

Kepala Zafran mengangguk terburu dengan wajah ingin menangis. Kemal pun berdiri, keluar dari kamarnya dan menutup pintu sedikit dibanting.

Maka, mulai saat ini, Zafran yang penakut takkan pernah mengungkapkan apa yang telah ia terima hari ini. Mama mencintai si bapak tiri walau sejak menderita depresi berat, sudah tak terlalu perhatian pada si suami.

Zafran sayang Mama. Walau Mama kini 'berubah', Zafran tidak mau Mama dibunuh oleh Kemal. Sahih juga baik pada Zafran meski mereka tak terlahir dari orangtua yang sama.

Jadi, Zafran harus bagaimana setelah ini? Ia takut dan gamang sekali.

Sekitar sepuluh menit kemudian, tremor di sekujur tubuhnya berangsur hilang. Namun, menyisakan sensasi sakit, badan lelah, dan kenangan menyakitkan yang tidak akan pernah sirna.

Perlahan-lahan, turun kaki-kaki Zafran dari tempat tidurnya. Gontai, berjalan menuju kamar mandi kecil dalam kamarnya. Pagi-pagi, normalnya kita memang mandi. Namun, ini lebih dari mandi membersihkan kotoran dan daki. Ini membersihkan diri dari hadas besar, juga dari rasa jijik, sakit, sedih, dan pedih.

Dunia Zafran Alharis sunyi sejak lahir. Tiada kicauan burung atau alunan musik yang hadir menghibur diri. Tiada suara-suara kawan yang indah menceritakan kisah-kisah manis. Bisa, sedikit. Namun, jika suara sudah dekat dan keras sekali. Kalau mau lebih terdengar lagi, harus dibantu alat yang kadang Zafran malas memakainya, sebab ia tetap saja begini.

Zafran tetap saja tuli.

✨️

Bersambung...

DENGARKAN ZAFRAN SEBENTAR ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang