LXR 18

1.9K 149 0
                                    

Catatan!
Jika ada kesamaan baik nama, latar, alur, atau mungkin jalannya cerita, itu hanya kebetulan semata

Hargai sebagai sesama penulis maupun pembaca, dilarang plagiat, no copy paste

Hard word / typo bertebaran
Sider's jauh-jauh sana
Jangan lupa vote komennya, bikin author seneng gak susah kok
_____________________________

.
.
.
.
.
.
.
.

Pandangan mata itu tak henti menatap para anak yang sedang asik bercengkrama. Ia senang, tapi entah kenapa ia tidak bisa menggambarkan nya. Hatinya kosong. Seolah hampa dan tidak berpenghuni.

Setiap celotehan yang terarah untuknya memang ia tanggapi dengan semangat dan antusias. Hanya saja tak seorang pun mengetahui tatapannya berkata lain.

'Bahkan di kehidupan ini pun, topeng ini masih melekat kuat'

Rui mengangguk tanda mengiyakan pertanyaan Naka.

"Tuh kan? Naka bilang apa? Abang Rui aja gak keberatan kalau aku pinjem" Ujar Naka dengan pede nya seraya memeluk erat buku milik Rui.

Andara dan Ishaq kompak mendelik tak terima. Setau mereka Rui bahkan tidak suka jika seseorang membuka ataupun menyentuh sembarang barangnya. Tapi apa ini? Rui mengizinkan bukunya di pinjam si bungsu Indratama?

Cih, mencari kesempatan dalam kesempitan.

"Abang"

Rui yang masih memperhatikan tangannya mengalihkan pandangannya ke arah Ary yang barusan memanggilnya.

"Anu.. Itu..."

Menyerinyitkan keningnya heran. Rui bingung sendiri melihat cara bicara Ary yang gugup.

"Ada apa?"

"Anu... Itu, mulai beberapa hari ke depan Abang diminta buat dateng ke sekolah. Katanya buat perwakilan lomba Ujian Nasional, ka-karena Bang Rui udah hampir dua bulan setengah gak masuk sekolah" Ujar Ary dengan gugup.

Sebenarnya ia tidak ingin mengatakan ini, tapi mengingat jika guru sempat berpesan padanya untuk menyampaikan pesan tersebut apalagi mengingat Rui adalah murid beasiswa yang biasa di pilih untuk Ujian jadi mau tak mau ia menyampaikan nya.

"Hmm? Mulai besok aku akan kembali sekolah"

"Abang!"

"Tidak ada yang akan pergi sekolah"

Rui tanpa sadar menatap tajam mereka yang barusan menyahut ucapannya. Yang membuat nya kesal bukan karena itu, tapi karena larangan nya. Rui itu... Benci di perintah.

Mereka yang melihat tatapan tajam Rui tanpa sadar langsung bungkam. Mereka seolah merasakan sesuatu yang dingin menyapu punggung mereka sekarang.

"Aku emang gak mempermasalahkan kalian yang ikut dateng buat rawat aku, tapi bukan berarti kalian bisa seenaknya ngatur aku" Ujar Rui seraya berbaring.

Ia kesal sekarang, tidak peduli dengan mereka yang terdiam, untuk saat ini yang ingin ia lakukan adalah meredam amarahnya.

"Emmm.. Bukan gitu Abang, masalahnya kan Abang sendiri belum sepenuhnya pulih. Dan dokter bilang Abang gak boleh terlalu kecapean dulu kan?" Ujar Naka mencoba memberi pengertian.

Mereka yang ada di sana sedikit mengambil nafas lega karena Naka mencairkan suasana. Jujur saja di waktu bersamaan mereka tidak ada yang bisa bergerak karena hawa dan tekanan yang Rui keluarkan seolah menahan tubuh mereka untuk bergerak bebas.

"Ughh, gue lupa Rui kalo marah serem banget" Gumam Andara seraya mengusap usap dadanya.

"Kayaknya kita juga baru inget dia pernah marah ya" Sahut Ishaq yang juga dengan bergumam.

Sayangnya gumaman keduanya terdengar jelas karena ruangan sunyi setelah Naka mengatakan alasannya.

Naka lantas mendongak untuk melihat apakah Rui tertidur atau bagaimana. Dan ternyata si empu terlelap tanpa mendengarkan ucapan Naka barusan.

"Hahhh... Kayaknya Abang Ruru gak bakal dengerin apa yang di kasih tau, temen Abang keras kepala amat sih?" Ujar Naka seraya menatap Andara dengan sebal.

"Gue juga baru tau dianya batu ye" Sahut Andara yang tak kalah sebal.

"Biarkan saja dia berangkat"

Mereka yang ada di sana kompak menoleh ke arah Kepala Keluarga Naryatama yang barusan bersuara.

"Ayah apa-apaan sih?" Ujar Ishaq tak terima.

"Ayah serius?" Sulung Naryatama ikut menyahut tanda ragu.

Ifi menatap Rui yang terlelap dan menatap ayahnya secara bergantian.

"Jangan lupa posisi kalian di mana" Ucapan tegas itu membuat mereka tanpa sadar menundukkan kepalanya.

"Dia bukan dari keluarga kita, saudara kita, kerabat kita juga bukan. Kita tidak punya hak untuk melarangnya, semua keputusan nya terserah padanya. Jangan menghakimi ataupun menentang keputusan nya, tugas kita hanya sekedar mengingatkan nya" Tutur Leo seraya menatap satu persatu orang yang ada di sana.

"Apa yang di katakan Ayah kalian benar, kita bukan kerabat, saudara ataupun keluarga nya. Jikalau pun kita tidak bisa melarangnya setidaknya kita mengingatkan nya, dan satu hal yang pasti mungkin kita hanya bisa melindunginya dari jauh" Sambung Rafa seraya mengusap kepala putra sulungnya.

Ia tau dan sangat paham bagaimana perasaan orang-orang di sana akan Rui. Dan ia sangat mengerti kenapa mereka merespon keputusan Rui dengan penolakan. Itu karena hadirnya Rui seolah sebagai cahaya untuk mereka yang tersesat dalam jurang kegelapan.

Selalu ingin bersama cahaya tersebut agar tidak tersesat. Dan selalu berjaga-jaga jika saja cahaya itu hilang tanpa jejak.

'Kenapa... Kenapa rasanya hampa sekali? Padahal mereka membela ku... Tapi kenapa... Perasaan ini tidak tergerak?'

_____________________________
__________________________
_____________________
_____________
________

T
B
C

[Transmigrasi] "Who Am I?"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang