Baru juga genap satu minggu, tapi Rayne sudah harus memberikan laporan tentang data yang sedang dikerjakannya, minimal sebagai progres awal kalau kata Orter.
Rayne sebenarnya tipe orang yang terorganisir dengan baik, sebelas dua belas sama Orter. Tapi karena ini pertama kalinya dia dipercaya untuk mengerjakan riset ini sendirian, otomatis dia merasa keteter.
Entah kebetulan atau kesialan yang sedang menimpa Rayne hari ini, karena dia dijadwalkan untuk bertemu langsung dengan salah satu perwakilan dari Business Development.
Kaldo Gehenna namanya, orang yang terkenal paling rewel kalau ada typo sedikit atau hasil riset yang tidak valid.
"Rayne Ames, I expect you to work attentively and efficiently." Kaldo sudah mulai berkomentar, kini tengah mencondongkan tubuhnya ke arah Rayne dengan kedua tangan terlipat di atas meja.
"Dari seperempat data yang baru kamu kerjain minggu ini, hampir sepuluh persennya itu beda dengan hasil laporan Orter yang udah saya terima."
Satu hal yang baru Rayne tahu, bahwa Orter juga ternyata tetap memonitor pekerjaannya dengan memberikan hasil risetnya lebih dulu pada Kaldo sebagai perbandingan.
Rayne yang diperhatikan seperti itu oleh Kaldo, hanya bisa menunduk gugup sambil menyatukan jari-jarinya. "Maaf, Pak."
"Kamu tuh baca requirement-nya nggak sih?" tanya Kaldo, nada suaranya makin mengintimidasi.
"Baca, Pak. Tapi kayaknya ada requirement yang kelupaan, makanya bisa ada missed." Rayne sendiri sekarang ragu apakah hasil data mart yang dia buat itu sudah sesuai dengan kebutuhan business user-nya atau belum.
Salah satu keharusan dalam pekerjaannya sebagai Data Analis adalah Rayne harus fokus, matanya harus teliti dengan perbedaan data walaupun hanya berbeda satu baris.
"Lupa kamu bilang?! Ini tuh fatal banget." kata Kaldo sambil menggeleng-gelengkan kepalanya heran. "Kamu sebenernya sanggup atau nggak buat proyek ini?! Kalo emang nggak, ya silakan mundur!"
Rayne langsung mendongak setelah kata-kata itu keluar dari mulut Kaldo. "Saya sanggup kok, Pak."
"Ya terus kenapa hasilnya kayak gini? Kalo ini masih dilanjut dan dikasih ke jajaran Direksi, kamu bisa ganti ruginya?! Mau potong gaji?! Nggak, kan?!"
Ketegangan terjadi di antara mereka berdua hingga beberapa saat kemudian, pintu terbuka lebar memperlihatkan Orter yang berjalan masuk tanpa permisi.
"Lu nggak perlu marahin Rayne sampe segitunya. Cukup kasih tau baik-baik, dia bakal ngerti."
"Gue nggak marahin dia tuh." bantah Kaldo pura-pura.
"Halah, satu kantor juga tau tabiat lu yang terlalu perfeksionis." Orter mencibir, sambil menarik kursi untuk duduk di samping Rayne.
Orter kemudian memutar balik laptop Kaldo untuk menghadap ke arahnya, lalu memindai dengan seksama. "Ini bukan sepenuhnya salah Rayne, sih. Karena raw data-nya dari awal juga udah berantakan banget, jadi wajar kalo dia salah."
Kaldo menyeringai ke arah Rayne, kemudian bersandar di kursinya. "You're lucky that Orter came here to save you today."
"Mendingan ini diulang dari awal aja biar nggak ada error lagi, toh deadline proyeknya juga masih sekitar tiga minggu." saran Orter santai, tersenyum ke arah Rayne untuk menenangkannya.
Rayne menghela napas lega, perasaannya menjadi jauh lebih tenang saat ada Orter di sini yang siap untuk membelanya.
Wajah Kaldo berubah datar sambil melirik ke arah Rayne. "Bisa nggak tuh, tiga minggu ngerjainnya?"
"Bisa, nanti biar Pak Orter yang jadi checker sebelum saya ngasih laporan finalnya." jawab Rayne tenang, disambut dengan anggukan setuju dari Orter.
Kali ini giliran Kaldo yang menghela napasnya. "Yaudah pokoknya kalo udah ready, minta approval dari Orter dulu."
Rayne mengangguk, lalu keluar dari ruangan itu dengan langkah gontai, untuk kembali ke meja kubikelnya.
~~~^^~~~
"Ray, tadi lu dimarahin Pak Kaldo?" Max mengintip teman-temannya yang ada di meja seberang, tanpa sedetik pun meninggalkan draf terbaru yang sedang diketiknya.
"Iya, untungnya ada Pak Orter yang belain gue." balas Rayne dengan nada lesu sambil berputar ke kanan dan kiri di kursinya. "Ya emang sih ini kesempatan bagus buat gue, tapi kepala gue bisa pecah lama-lama."
Dari depan dan samping meja kubikelnya, Rayne bisa mendengar dengan jelas suara cekikikan yang keluar dari teman-temannya.
"Sebenernya ya, ada satu cara biar lu dapet promosi tapi nggak usah cape kerja." sahut Renatus, yang kali ini ikut menimpali obrolan mereka.
"Apa tuh?" Shopina mendongak dari balik mejanya.
"Lu harusnya pacarin aja Pak Orter, ntar kan lu pasti dapet jabatan bagus di kantor karena koneksi doi. Iya nggak?" Renatus mengatakan itu dengan kalem, seakan pernyataannya tidak akan menimbulkan pertanyaan di pikiran teman-temannya.
"Emangnya Pak Orter jomblo, ya?" tanya Sophina serius.
"Lah emangnya Pak Orter punya pacar?" Renatus malah balik bertanya.
"Gimana kalo ternyata Pak Orter itu udah nikah?" Max berspekulasi sendiri.
Rayne hanya memutar kedua bola matanya, malas mendengar teman-temannya yang malah menjadikan atasan mereka sebagai bahan obrolan.
Sophina berdehem kembali. "Eh tapi selama ini kayaknya nggak ada tanda-tanda Pak Orter naksir orang, ya? Dia kan seserius itu soal kerjaan."
Benar juga, orang seperti Orter mana ada waktu untuk hal-hal seperti itu. Tiap hari selalu datang paling pagi, pulang lumayan malam, mau ditemui pun pasti saja ada rapat.
Dan seakan-akan terpanggil, Orter keluar dari ruangannya, lalu berjalan tepat di depan pintu kaca ruangan sambil menegur mereka. "Kerja, kerja, kerja. Jangan ngobrol mulu."
Mereka berempat membeku seketika, mendadak dihadapkan langsung pada Orter yang tersenyum simpul. "Hayo.. pada abis ngomongin saya, ya?"
"Iya. Lagi audisi cari jodoh buat Pak Orter, nih." celetuk Renatus tanpa dosa.
"Tipenya Bapak yang kayak gimana? Siapa tau cocok sama temen saya." lanjut Sophina penuh semangat.
Alih-alih memberikan respon lebih lanjut tentang ucapan itu, Orter malah berujar tenang. "Inget rules, nggak boleh pacaran sesama pegawai di kantor."
Aturan tertulis kadang mengikat sedemikian rupa, dan salah satunya adalah untuk tidak menjalin hubungan dengan sesama rekan kerja, agar tetap bisa profesional dan tidak mencampurkan urusan pekerjaan dengan yang pribadi.
"Yah, pasti ada yang kecewa tuh Pak." tandas Max sambil melirik ke arah Rayne.
'Emang bangsat, padahal gue diem-diem aja daritadi.' Rayne yang menyimak obrolan mereka, hanya bisa mendelik jengkel tanpa menanggapi langsung.
Di tengah itu semua, Rayne tidak mau berasumsi, apalagi kelewat percaya diri. Tapi sepertinya, Orter seringkali berusaha mencuri pandang dengannya.
tbc..
~~~^^~~~
hehe<333
KAMU SEDANG MEMBACA
It's You - [orterayne] ver
Фанфик[COMPLETED]✔ Di antara semua yang terjadi dalam kehidupan pekerjaannya yang biasa-biasa saja, mungkin kehadiran Orter adalah salah satu yang harus disyukuri oleh Rayne. [remake from my works with the same title] bxb bahasa non-baku harsh word fiksi...