Banyak hal yang berubah setelah Orter mengajak Rayne makan malam bersama dan mengantarkannya pulang ke kos-kosan.
Percakapan pesan mereka yang awalnya hanya membahas tentang pekerjaan, kini berubah menjadi sapaan singkat atau perbincangan rutin yang terjalin hampir setiap hari.
Rayne bukan seorang ambisius, tapi kontradiksi muncul karena dia menganalisa Orter lebih detail dan tekun dari siapapun.
Seperti misalnya, Orter ini ternyata tipe atasan yang paling malas jika disuruh memakai pakaian formal.
Tapi karena hari ini Rayne tahu bahwa ada jadwal rapat eksekutif. Mau tidak mau, dia meminta Orter untuk datang ke kantor menggunakan jas dan dasi.
Karena kalau Rayne tidak mengingatkannya, Orter akan menjadi satu-satunya eksekutif yang kerah kemejanya terbuka lebar dan lengannya digulung sampai siku.
"Gimana meeting-nya, Pak?"
"Hectic, as always." Orter tertawa, karena rapat eksekutif selalu punya caranya sendiri untuk membuat dia sakit kepala.
Penyebabnya banyak, mulai dari briefing proyek yang melebar jadi diskusi debat, miskomunikasi kecil-kecilan, dan beberapa orang yang hobinya nyolot kalau sudah angkat bicara.
"Pusing dong, Pak?" tanya Rayne hati-hati.
"Tadi sih iya." Orter masih dalam setelan jasnya, tapi dasinya sekarang sudah dilepas dengan kancing kemejanya yang paling atas dibuka. "Tapi sekarang nggak pusing lagi, soalnya udah ada kamu di sini."
Rayne berdehem, dan suaranya kembali tertelan oleh kebisingan di sekitarnya karena mereka berdua ada di kantin bagian outdoor.
"Ray, yang ini kurang tanggal 8."
Rayne yakin wajahnya memerah, tapi untungnya fokus Orter sudah teralihkan ke bagian laporan yang ada di hadapan mereka.
"Yang lain udah sesuai, Pak?"
"Ada lagi tuh tanggal 13, yang saya highlight biru. Yang masih kurang, saya tulis pake pulpen merah di post it."
"Oke, Pak." Rayne memang seharusnya tidak perlu meragukan lagi kemampuan Orter dalam membuat query data dengan cekatan dan akurat.
Karena selama beberapa minggu ini, Rayne merasa bahwa dia lebih sering diam dan menuruti apa yang Orter katakan.
Rayne juga terus-menerus dibuat kagum dengan keahlian Orter dalam hal berdiskusi dan berbicara dengan rekan kerja mereka yang lain.
Maka tidak berlebihan jika Rayne merasa dalam setahun ke depan, Orter sepertinya bisa langsung naik jabatan ke posisi Direktur.
Yang juga disadari Rayne adalah selama dirinya bekerja bersama dengan Orter dan sering menghabiskan waktu berdua, banyak mulut yang bergosip soal kedekatan keduanya.
"By the way, riset kita bentar lagi selesai." celetuk Orter.
Rayne mengangguk-angguk. "Jujur aja, nih. Kalo sampe ada revisi lagi, saya kayaknya bakal muntah di tempat, Pak."
Orter terkekeh geli. "Tenang, ini yang terakhir. Nggak akan ada revisi lagi, kok."
"Pak Orter, makasih ya.." gumam Rayne, karena bagaimana pun juga, laporannya ini bisa berjalan lancar sebagian besar karena bantuan dari Orter.
"Makasih buat apa?" tanya Orter iseng.
"Ya, makasih udah bantuin saya. Kalo nggak ada Bapak, rasanya saya nggak akan bisa selancar ini." jawab Rayne tulus.
Orter tersenyum tipis. "My pleasure, it's nice to spend a lot of time with you."
Rayne bahkan tidak bisa sama sekali untuk menutupi senyum yang muncul di bibirnya saat mendengar balasan Orter.
"Break dulu bentar ya, Ray." Orter lantas mengeluarkan sekotak rokok dan juga pemantik api dari saku jasnya, sementara Rayne hanya mengiyakan.
Orter mengambil satu batang rokok, yang kemudian dihimpit dalam belahan bibirnya. Tidak lupa, kotak berisi nikotin itu pun diarahkan pada Rayne dengan tangan kanannya yang masih bebas.
Rayne terdiam cukup lama untuk merespon karena dia terlalu sibuk mengagumi Orter dalam pikirannya sendiri.
"Eh, sorry.." Orter menarik tangannya kembali, begitu pula dengan pemantik api yang kini dijauhkannya. "Kirain kamu ngerokok juga, makanya saya tawarin."
Rayne langsung mengerjap, entah sudah berapa kali dia melamun di depan Orter, yang sekarang adalah pemegang tahta terbesar atas seluruh isi pikirannya.
"Muka saya emang kayak perokok ya, Pak?"
"Nggak, sih." Orter menggeleng, hisapan pertama pada rokoknya membawa sensasi dingin di tenggorokannya, seiring angin sore yang menerpa wajahnya. "Kamu cantik."
Sial, Rayne tidak menyangka kalau Orter akan mengatakan itu dengan santai. Satu pernyataan manis yang akan selalu terngiang di benaknya.
"Apaan sih, Pak?" Rayne menunduk, sebisa mungkin menyembunyikan raut wajahnya yang terkejut sekaligus tersipu.
"Kamu tuh kok bisa sih perfect banget? Cantik, lucu, gemesin, tapi juga keliatan manly." puji Orter, yang membuat Rayne semakin salah tingkah.
Orter hampir terbahak, abu rokoknya dibawa terbang angin dalam partikel-partikel kecil saat dia menjentikkannya ke asbak yang ada di atas meja.
"Bapak bisa diem nggak? Saya malu banget!" teriak Rayne dengan nada merengek sambil menyembunyikan wajahnya.
"Ray.. saya di sini, bukan di bawah." Orter perlahan menyentuh dagu Rayne, membawa kedua matanya untuk bertatapan langsung dengan netra gelap miliknya.
"Liat ke saya, jangan ke lantai."
Rayne buru-buru memutuskan kontak mata mereka, tangannya merebut kotak rokok milik Orter, lalu mengambil sebatang rokok yang tadi ditawarkan.
"Bisa ngerokok emang?" tanya Orter bercanda, setelah melihat Rayne yang menghimpit sebatang rokok di bibirnya sendiri.
"Bisa, lah." Rayne menunjukkan cengirannya. "Tapi bantu nyalain ya, anginnya kenceng banget."
"Manja." ledek Orter, meskipun begitu dia tetap mendekat ke arah Rayne hingga bahu mereka bersentuhan, untuk menyalakan pemantik api dan menyulut rokoknya.
"Kan manjanya sama Bapak doang." Rayne sudah kepalang malu, jadi lebih baik sekalian saja dilanjutkan.
Orter langsung tertawa terbahak-bahak mendengarnya, kedua matanya menyipit dengan lengkung bibir yang naik ke atas. "Should I take that as a flirting?"
"Yes, please." Rayne mulai menghisap rokoknya, kemudian menghembuskannya dengan perlahan, sementara matanya melirik penuh atensi ke arah Orter.
"Kenapa saya diliatin kayak gitu?" Orter masih bersisa tawa, dan menoleh karena merasakan tatapan lekat dari Rayne.
"I just realized something.."
Rayne sengaja menjeda kalimatnya, sambil menopang dagunya untuk lebih leluasa memerhatikan wajah Orter. "When I look at you, my mind goes blank and my heart beats faster."
Lihat, siapa yang tadi malu-malu tapi sekarang malah berbalik menggoda Orter dengan ucapannya.
tbc..
~~~^^~~~
![](https://img.wattpad.com/cover/332675517-288-k923885.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
It's You - [orterayne] ver
Fanfiction[COMPLETED]✔ Di antara semua yang terjadi dalam kehidupan pekerjaannya yang biasa-biasa saja, mungkin kehadiran Orter adalah salah satu yang harus disyukuri oleh Rayne. [remake from my works with the same title] bxb bahasa non-baku harsh word fiksi...