1 | Batari Penari

13 4 0
                                    

Surabaya, 19 September 1919 | 17

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Surabaya, 19 September 1919 | 17.17

Surut baswara sang bagaskara tak begitu berbinar di ufuk barat, di antara sunyi jelang magrib ia tenggelam ke dalam peraduannya di cakrawala. Tiada binar kuning atau jingga yang mengedar bersama pancarona pesona semburat adiwarna mewarnai bentang bumantara. Pendar binarnya muram, merampas dekap hangat yang sirna kala angkasa menggelap kelam. Yang mendominasi sore itu ialah kelabu beserta gumpalan mega yang menghitam, menahan tangis hujan yang tinggal menghitung waktu untuk berjatuhan.

Deru dingin angin berembus begitu menusuk rusuk, mengisyaratkan permulaan badai yang akan menyapa. Meski demikian, cuaca yang kian memburuk tak jua menyurutkan tekad seorang pemuda yang diutus oleh sang ayah dalam menyampaikan pesan ke kediaman koleganya. Samar-samar terdengar gemerincing lonceng mengiringi suara derap langkah kaki kuda yang menapaki jalanan setapak dipenuhi kerikil. Selincam ringkik seekor kuda seputih gading berperawakan agam itu merespons interupsi begitu tali kekangnya ditarik oleh seorang kusir yang mengendara, memberhentikan laju delman tepat di halaman pelataran luas sebuah bangunan megah bernuansa Jawa klasik bergaya arsitektur artistik yang menghiasi motif unik relief-relief apik nan lekat akan beraura antik.

Setelah cukup beberapa saat terpaku membeku, seorang pemuda terpelajar berbusana beludru sutra berwarna seputih susu lantas turun dari delman yang dikendarainya. Dua orang wanita paruh baya selaku pramuwisma kediaman itu berdatangan menghampiri guna menyambut sang tamu, kemudian mempersilakan masuk dan memintanya menunggu sejenak di paviliun tamu.

Begitu ditinggal seorang diri, ia bergeming mengedarkan netranya yang setajam elang menelisik dekorasi, takjub mengobservasi serangkaian ornamen pahatan kayu di sudut-sudut ruangan, koleksi bernilai nadir dari eksistensi guci arkais yang autentik, jajaran lukisan yang terpampang rapi selaras dengan warna dinding, berdampingan terstruktur dengan bingkai-bingkai foto berlatar hitam putih dari Keluarga Saskara yang terpajang bersanding.

Atensinya tertarik pada potret seorang gadis berkebaya anggun yang kian manis dipercantik oleh segaris senyum tipis, nampak duduk bersimpuh di antara gamelan-gamelan seolah dialah sang sinden yang memberikan nyawa melalui suara emas dalam menembang. Kalau dirinya tidak salah ingat, namanya adalah Gistara Saskara, putri semata wayang Adipati Gyanendra Saskara.

“Gistara,” gumamnya, menyelami makna nama yang dimiliki oleh putri adipati itu berasal dari Bahasa Sanskerta, artinya ‘suara yang luar biasa'.

Terhitung setelah nyaris tiga menit berlalu, seorang pria mendatanginya. “Ah, maaf atas keterlambatan saya telah membuat Anda menunggu lebih lama dari yang seharusnya, tuan muda.” Interupsi suara pria berusia kepala empat; Fatih, patih yang bertanggung jawab mewakili segala keperluan Sang Adipati selayaknya delegasi selama beliau berdinas di Surakarta dalam rangka menghadiri pertemuan antarmajelis. “Goedemiddag, sebelumnya saya ucapkan selamat datang di kediaman Saskara!” sambutnya menyapa, mengulurkan tangan.

Aksara Lara NiraksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang