Perpustakaan H.B.S.,
10 Oktober 1919 | 12.21Di dalam perpustakaan tua yang dipenuhi dengan bau kertas dan kayu, nampak siluet gadis yang terduduk pada bangku di sudut sunyi memangku buku. Ruangan sepi dengan jajaran rak-rak buku yang menjulang tinggi memberikan suasana amikal bagi pengelolaan paradigma beserta refleksi kritis. Sinar matahari menembus jendela-jendela kaca patri kuno, menerangi halaman buku yang sedang dibacanya.
Dalam kesendirian, ia berusaha menggali pengetahuan dan wawasan, menelusuri bagaimana histori mempengaruhi dan membentuk kondisi pendidikan dan dinamika masyarakat. Dengan penuh konsentrasi, netra tajamnya terfokus pada halaman yang memaparkan sejarah perkembangan pendidikan pada masa kolonialisme di Hindia Belanda.
Jari-jemari lentiknya meraba sejuta aksara pada teks yang tercetak jelas pada kertas usang yang menguning, sembari menajamkan nalar dalam memahami bagaimana sistem pendidikan saat itu diatur dan dijalankan oleh Pemerintah Kolonial Belanda (PKB).
Kebijakan Politik Etis PKB di Hindia Belanda, mulai dari Sistem Tanam Paksa (1830-1870) hingga Politik Liberal (1870-1900), berdampak pada kemiskinan yang meningkat. Kritik datang dari tiga tokoh pribumi seperti Inspektur Pertanian L. Vitalis, Kepala Dinas Kesehatan dr. W. Bosch, dan seorang pendeta yang kemudian menjadi anggota parlemen W. R. Baron van Hoevell menuntut PKB memperhatikan kepentingan masyarakat lokal. Pada 1885, perusahaan asing masuk dan memperburuk kondisi ekonomi serta memberikan upah rendah kepada buruh.
Multatuli dalam “Max Havelaar” (1860) menggambarkan tekanan PKB terhadap petani, sementara C. Th. Van Deventer menulis kritik dalam majalah De Gids (1899) bertajuk “Een Eereschuld” mengemukakan bahwa kekayaan Belanda didapatkan dari kerja keras dan kontribusi masyarakat pribumi. Sehingga sebagai bangsa yang beradab dan bertanggung jawab, sudah seharusnya Belanda membayar kembali “hutang budi” ini melalui program irigasi, emigrasi (transmigrasi), dan edukasi; yang kemudian menjadi trilogi atau trias program utama kebijakan Politik Etis PKB—meski masih didasari oleh kepentingan sendiri untuk menghindari kritik dan potensi perlawanan rakyat.
Walau infrastruktur irigasi dibangun sejak 1885, fokusnya bukan pada persawahan rakyat, tetapi pada perkebunan seperti tebu. Program transmigrasi pun sebenarnya bertujuan memenuhi kebutuhan tenaga kerja di perkebunan, bukan membuka lahan baru bagi petani lokal. Hingga 1903, sekitar 300.000 jiwa telah dipindahkan, terutama ke Sumatra Utara.
Tidak hanya terkenal atas reputasi kebijakan rezim pembangunan jalan raya Anyer—Panarukan berandalan kerja rodi, nyatanya Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) juga menginisiasi reformasi pendidikan dengan menugaskan para bupati mendirikan sekolah-sekolah. Namun, visi pendidikan berkualitas sulit tercapai karena membutuhkan investasi besar. Pada 1816, PKB mulai memprioritaskan pendidikan anak-anak Belanda, sementara pendidikan untuk masyarakat pribumi dijalankan dengan prinsip diskriminatif.
Mereka mengategorikan masyarakat kolonial menjadi beberapa kalangan meliputi golongan kolonial Eropa, Timur Asing (termasuk Cina (Tionghoa) dan Arab), serta elite pribumi berstatus priayi. Selain itu, terdapat juga pemisahan penggunaan bahasa pengantar, di mana Bahasa Belanda digunakan untuk pendidikan golongan Eropa dan elite pribumi, sementara Bahasa Melayu menjadi bahasa pengantar untuk pendidikan golongan pribumi biasa.
Meskipun Kerajaan Belanda mengeluarkan dekrit yang menunjukkan niatnya untuk mendirikan sekolah dasar bagi masyarakat pribumi, programnya lebih berfokus pada keterampilan dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung dalam Bahasa Jawa dan Melayu. Namun, tujuannya lebih untuk kebutuhan administratif kolonial daripada peningkatan pendidikan. Lulusan sekolah ini lebih dimaksudkan untuk menjadi pegawai rendahan dengan upah yang lebih rendah dibandingkan pegawai Eropa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Lara Niraksara
Historische Romane"Kepada Gadis Niraksara yang mengenalkanku pada gelora euforia asmara; bilamana lisanku membisu, maka ketahuilah jikalau penaku masih senantiasa menuliskan namamu." Pangeran Aksara ialah nama pena Devries van Diederik, pemuda blasteran keturunan Bel...