11 November 1919 | 23.32
Kepada nona yang bersemayam dalam dimensi klandestin,
Tiadakah engkau bersedia menawarkan secercah binar baswara yang memandu langkah tanpa arahku mengejar temaram kiranamu?
Setidaknya katakan padaku, sedalam apa palung misteri yang menenggelamkanmu dalam teka-teki yang tak kuasa diterka nalarku?
Sejauh manakah bentang samudra melayarkan lakaramu di antara cakrawala biru kelabu?
Harus seluas apakah bumantara yang kukelanai dalam mengarungi pencarian bintangmu yang mengorbit pada antariksa galaksi terjauh?
Ataukah belantara mana lagi yang harus kukembara tanpa tersesat tipu daya pesona tarianmu yang candu, nona?
Membacamu sebagai aksara bermakna enigma senantiasa membuatku bertanya-tanya,
Semenderita itukah merahasiakan lara yang kau dera dari sandiwara fana yang engkau perankan?
Dingin kau abaikan eksistensiku yang tersudut, mengurai benang merah tentangmu yang kusut.
Akhirulkalam, pengelana pesona kelammu yang enigma
DevriesTorehan tinta pena terlukis mengukir fana secarik kertas bertuliskan aksara manifestasi rasa dalam puisi narasi, hitam sepekat ampas kopi dan kelamnya dirgantara malam. Mereka serupa saksi bisu penciptaan serangkaian kata yang mengutarakan keraguan pencarian titik terang dalam sekelumit misteri yang membelit, menggantung laksana kabut misterius sesuram kelabu yang menyelimuti latar belakang gadis itu.
Di puncak rooftop paviliun megah kediaman Diederik, Devries mengarungi waktu tengah malam dalam suasana ketidaktahuan dan penasaran itulah nalar menerka teka-teki dari esensi enigma yang tak terbaca. Ia terpaku memangku buku, tangan kanannya masihlah menggenggam pena, sedang sebatang rokok terselip di antara jari telunjuk dan tengah tangan kirinya. Cahaya remang-remang rembulan sabit menyelimuti sekelilingnya, berhias gemerlap gemintang, dan nyala temaram lentera minyak. Dalam kesunyian, ia memejamkan mata, menenggelamkan jiwa dalam kelam nabastala. Merengkuh terpaan embusan pawana yang merasuk relung rusuk dengan hawa menusuk.
Dahinya dihiasi kerutan mengernyit, raut wajahnya penuh tanda tanya, seakan-akan permainan logika dalam bising isi kepala tengah beradu mengejar benang merah kusut yang menjelma kunci penghubung sejumlah konspirasi membingungkan yang belum jua dirampungkannya hingga memakan waktu sebulan lamanya.
Terhitung tepat sebulan yang lalu—ayahanda memanggilnya, dalam percakapan serius mereka mendiskusikan permasalahan yang mengharuskan Dev menyelidikinya. Pemuda itu diutus oleh Dedrick van Diederik—Sang Jenderal Tirani untuk memburu seorang jurnalis; aktivis misterius yang kerap mempublikasikan artikel kontroversial yang cukup berpengaruh menyita perhatian publik. Narasi kritisnya seputar eksplorasi fakta informatif yang merujuk pada kritik terhadap rezim politik etis PKB, disajikan sampel artikel yang telah berhasil mereka boikot dan larang secara ilegal untuk disebarluaskan.
Sudah terkumpul sejumlah lima berkas artikel bersumber anonim yang rekapitulasinya diserahkan pada Dev untuk memudahkan penyelidikan. Di antara judulnya adalah;
1.Politik Etis PKB: Antara Visi Kolonial dan Realitas Lokal
2.Politik Etis dan Irigasi: Apakah PKB Berpihak pada Kesejahteraan Masyarakat atau Kepentingan Rezim?
3.Transmigrasi dalam Politik Etis: Upaya PKB dalam Mengatasi Masalah Regional atau Eksploitasi?
4.Edukasi Menurut PKB: Suatu Pendekatan Kolonial atau Penciptaan Kalangan Diskriminatif?
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Lara Niraksara
Historical Fiction"Kepada Gadis Niraksara yang mengenalkanku pada gelora euforia asmara; bilamana lisanku membisu, maka ketahuilah jikalau penaku masih senantiasa menuliskan namamu." Pangeran Aksara ialah nama pena Devries van Diederik, pemuda blasteran keturunan Bel...