Gemerincing lonceng yang berdentang mengiringi langkah sang penari terhenti di hadapan pintu bercat cokelat gelap yang berhias ukiran ornamen klasik, tertutup rapat seolah menolak kedatangan siapa pun.
“Nona Gistara, ini saya,” gadis itu memanggil. Kepalan jemari lentik Ayara tergerak mengetuk beberapa kali, sementara Bi Ajeng mengintip dari balik punggungnya yang terbuka dan tertutup gerai panjang rambut yang menjuntai. Akan tetapi tidak ada jawaban sepatah kata pun yang terdengar bersuara.
Rahang Ayara mengeras seiring hawa menegang yang menerpa tengkuknya, dengan tanpa izin ia menggenggam kedua gagang pintu yang kemudian dirinya dorong. Beruntung tidak dikunci dari dalam, sehingga Ayara dengan segera menghampiri sang nona yang terduduk meringkuk seraya memeluk lutut di sudut ruangan. Kedua tangannya yang gemetaran terarah menutup kedua telinga, seakan suara-suara bising tengah memenuhi isi kepala tak karuan yang diperparah oleh emosi kepanikan yang meledak-ledak.
“PERGI! MENJAUHLAH!” teriak Gistara mengusir, tanpa sekali pun melihat siapa yang datang lantaran kedua kelopak matanya sengaja dipejamkan rapat-rapat.
“Nona?” dengan sabar Ayara merentangkan kedua tangan, merengkuh raga ringkih itu, menenangkannya secara perlahan.
“A-Ayara...” cicitnya lirih begitu mengenali suara siapa yang merengkuh dirinya, memeluk sosok yang sudah seperti adiknya itu. Cukup lama mereka hanya berdiam diri di tempat dengan Ayara yang membelai puncak kepala nonanya, setidaknya sampai gadis itu tenang seiring serangan paniknya yang mereda.
Dengan isyarat dari Ayara, Bi Ajeng baru berani mendekat seraya menyerahkan segelas air mineral untuk diminum sang nona. Selagi menunggu Nona Gistara meneguk air minumnya, sesekali Ayara menyeka peluh yang membasahi dahi hingga leher gadis itu menggunakan selendangnya. Lalu merangkul sang nona yang ia tuntun menduduki tepi pembaringan.
Ayara memandang sendu pandangan Nona Gistara yang begitu kosong, seakan yang tertinggal hanyalah raga bernyawa tanpa jiwa. Sebab meski keduanya saling bertatapan lekat-lekat, Nona Gistara nyaris tak berkedip, kedua bening netranya yang sayu bahkan menampilkan dengan jelas pantulan wajah Ayara yang terbias di sana.
Gadis itu lantas merendahkan tingginya, bersimpuh tepat di bawah hadapan Nona Gistara, menggenggam kedua tangannya yang begitu dingin. “Nona, minum obat ya? Setelah itu lekas tidur,” pintanya, mengulas senyum getir.
“Pahit, Ay.. Aku bosan, sampai kapan aku harus mengonsumsinya? Indra perasaku mati rasa,” ia mendesis.
“Nona harus tetap mengonsumsinya demi menjaga kestabilan kesehatan nona, engkau—ingin sembuh kan?” dengan telaten Ayara menaikkan dagu Nona Gistara yang ia suapi pilnya, baru setelah itu memberikan segelas air untuk gadis itu teguk. “Anak baik, sekarang berbaring ya?” pujinya, lantas menyamankan posisi bantal, baru setelah itu membantu sang nona membaringkan raga di pembaringan yang hangat, meluruskan kedua kakinya, menyelimuti tubuh kurus itu dengan selimut hingga setengah badan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Lara Niraksara
Historical Fiction"Kepada Gadis Niraksara yang mengenalkanku pada gelora euforia asmara; bilamana lisanku membisu, maka ketahuilah jikalau penaku masih senantiasa menuliskan namamu." Pangeran Aksara ialah nama pena Devries van Diederik, pemuda blasteran keturunan Bel...