H.B.S., 12 November 1919 | 12.12
Gerah hawa panas yang menyengat bagai membakar kulit, diperparah oleh terik baskara yang menyorot tepat di atas kepala. Di antara riuh gaduh seantero H.B.S. pada waktu istirahat makan siang, sesosok pemuda justru menyelinap di antara keramaian, mengendap-endap ke area tersepi sekolah selain pekarangan belakang. Tidak memungkinkan untuk lewat sana dikarenakan tembok menjulang yang tak bercelah untuk dipanjat, tetapi tentu ia mengetahui jalur alternatif lain.
Kewaspadaannya diuji begitu melewati koridor suram yang menuju sanggar terbengkalai; pemilik reputasi stigma angker yang dikelilingi oleh rumor mistis atas suara-suara gamelan tanpa pemain yang terdengar mencekam. Hawa merinding berembus di tengkuknya manakala langkahnya menapaki penghujung koridor sudah disambut wewangian melati yang menguar semerbak; menurut kepercayaan di Tanah Jawa, konon dipercaya mengisyaratkan eksistensi makhluk halus di sekitar area tersebut—nyatanya tak jua menakuti nyalinya.
Tetapi alih-alih sesosok penampakan hantu ataukah kuntilanak di siang bolong, justru Devries malah bertemu seorang gadis jelita yang tengah menari dalam hening tanpa iringan musik. Sekali lagi menaklukkan atensi Dev yang mematung terpaku mengamati kagum, hingga sigaret yang dirinya isap tak lagi secandu biasanya. “Batari Penari,” gumamnya dihiasi senyum tipis, tak menduga kembali dipertemukan oleh sosok yang pernah ia lihat menari di Sanggar Saskara.
Dengan gemulai lentik jemarinya menyibakkan selendang serupa sayap yang terbentang ketika sang penari berputar, tetapi karena dirinya sadar sesosok asing tengah mengamati dari kejauhan—penampilannya yang terusik pun disudahi sebelum merampungkan tarian fase gerakan akhir.
“Selancang itukah Anda memandang, tamu tak diundang?” tegur sarkas sang penari, mengekspresikan kekesalannya. Menatap nyalang sesosok pemuda yang justru menghampirinya terang-terangan kepalang tertangkap basah.
“Berdosakah saya bilamana mengagumi keanggunan Gadis Batari Penari yang lebih dulu memikat dengan pesona menjerat? Jikalau berkenan, bersediakah Anda meraih uluran tangan tuan yang menawarkan dansa pada puan yang menawan?” rayu mesra sang pujangga.
“Tiada rasa puan sukarela bersedia atas dansa yang sejatinya bukanlah tarian autentik bangsa,” tolaknya sinis.
Dev terkekeh, menurunkan uluran tangannya yang menggenggam angin kosong. “Semahal itukah dedikasi puan yang tidak terjual rayuan kasual begitu mudah?”
“Apalah esensi jual mahal menanggapi bualan tuan yang memicu mual? Enyahlah,”
Seasyik itu bercengkerama mencipta dialektika sastra dari perseteruan sinis melawan nona manis. “Sukar jua meluluhkan pendirian teguh nona angkuh, perangaimu yang acuh tak acuh itu mengintimidasi tuan laksana musuh, Nona Saskara!” insinuasi Dev.
“Tak pantas engkau mengharap ramah-tamah dari pribumi yang begitu nista di matamu ini. Tiada waktu bagiku bercengkerama dengan seorang pemuda yang bahkan tak peduli dengan bangsa yang dirinya telantarkan secara apatis.” Gistara terang-terangan mencecar celaan, menyilangkan kedua lengan selagi melayangkan pandangan nanar.
“Tidak malukah kau berpihak pada penjajah yang menguasai tanah kelahiranmu? Percumalah engkau pelajari teori-teori nasionalisme yang tak akan mampu dipahami logikamu yang mati empati terhadap negeri. Sebagaimana tidak pernah terketuk simpati bahkan dalam partikel terkecil nuraga dan nuranimu merenungi penderitaan bangsa yang tak pernah kau bela. Entah bagaimana kau bisa tidur nyenyak selama ini, tanpa dihantui mimpi buruk teriakan-teriakan jelata yang diinjak-injak kolonialisme di tanah mereka sendiri? Ataukah setidak-tidaknya mendengar tangis kelaparan tak makan berhari-hari, hingga rintih perih perbudakan tak berbelas kasih yang menuntut sujud tepat di bawah kaki kalian yang cacat moral.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Lara Niraksara
Historical Fiction"Kepada Gadis Niraksara yang mengenalkanku pada gelora euforia asmara; bilamana lisanku membisu, maka ketahuilah jikalau penaku masih senantiasa menuliskan namamu." Pangeran Aksara ialah nama pena Devries van Diederik, pemuda blasteran keturunan Bel...