Terhitung sebulan pasca Nona Gistara meminjamkan kamusnya, ia menyadari Ayara tidak terlalu sering menanti kepulangannya. Kerap kedapatan gadis itu nyaman bersemayam di kamar sempitnya di sisi gudang atau bersandar pada salah satu pilar penyangga joglo, sibuk berkutat dengan jurnal yang menyita pusat perhatiannya. Mempelajari selagi menghafal berbagai kosakata dari kamus, yang sejalan ia terapkan implementasi langsung dalam menerjemahkan belasan puisi yang telah rampung dirinya bedah dan renungkan interpretasi berdasarkan perspektifnya.
Begitu mampu membaca dan mengiringi perkembangan kemampuan linguistiknya, siapa yang menyangka progres gadis itu justru jauh lebih signifikan dibandingkan oleh Nona Gistara yang notabenenya memang bersekolah. Padahal Ayara hanya belajar otodidak berdasarkan belasan buku yang dirinya pinjam, namun cukuplah buku-buku itu yang menjadi kunci wawasannya.
Tak ingin sia-sia meminjamkan buku secara cuma-cuma, Nona Gistara merencanakan motif lain. Ia mulai mengeksploitasi Ayara yang dirinya suruh untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah yang dirinya dapat dari sekolah, setiap harinya. Ayara sama sekali tidak protes atau menolak, lagi pula atas dasar hak apa dia berani menentang perintah nonanya? Malah Ayara mengerjakannya dengan sungguh-sungguh sebagaimana belajar merupakan sebuah anugerah yang didapat oleh jelata sepertinya.
Secara tidak langsung, meningkatnya nilai akademis Nona Gistara dalam berbagai mata pelajaran adalah berkat sosok di belakang layar di bawah titahnya. Namun bukan berarti trik licik gadis itu tidak diketahui sama sekali oleh sang adipati yang diam-diam mengontrol progresnya. Tentu karena terlalu dimanjakan, kadang kala putrinya memang agak malas dan cenderung mengandalkan kegigihan Ayara. Mana mungkin Tuan Gyan tidak bisa membedakan antara tulisan Ayara yang ternyata jauh lebih rapi dibandingkan tulisan putrinya di setiap lembar tugas. Meski begitu, Ayara yang mulai menarik perhatiannya itu tidak pernah sekalipun unjuk diri, sadar betul posisinya dengan menekan potensi agar tidak sampai melampaui Nona Gistara. Beliau pun memendam pertimbangan bimbang atas kemampuan Ayara yang masuk dalam pemantauannya.
“Sejak kapan kau bisa baca tulis?” tanya Tuan Gyan suatu waktu tanpa sepengetahuan putrinya, mengorek kejujuran Ayara ketika kebetulan gadis itu menyapu ruang kerjanya dan menata buku-buku pada jajaran rak.
Dengan kepala yang tertunduk dalam, pandangan Ayara jatuh menatap lantai, tak berani berkontak mata dengan lawan bicara. “M-maaf atas kelancangan saya, Tuan Adipati.” tuturnya, tersirat ketakutan.
Dahi Tuan Gyan mengernyit, tak menyangka bahwasanya yang terlontar pertama kali bukanlah jawaban yang dirinya cari melainkan sebuah—permintaan maaf. Beliau pun menunggu kelanjutan kalimat Ayara yang terdengar menggantung.
“Sejujurnya saya memang sering meminjam buku nona, tentu atas seizinnya, Tuan Gyan. Berkat kemurahan hati nona yang berdedikasi mengajari, saya mengenal aksara, mengeja, hingga mampu membaca, dan menulis. Saya sadar jelata seperti saya memang tidak memiliki hak mengenyam pendidikan ataukah mencicipi keberkahan membaca aksara untuk mengetahui manisnya ilmu. Tetapi seumur hidup, saya bersyukur atas kesempatan yang telah diberikan nona pada saya. Untuk itulah Tuan Gyan tidak perlu khawatir, saya berjanji tidak akan pernah menyaingi pencapaian nona.” gadis itu bertutur panjang lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Lara Niraksara
Historical Fiction"Kepada Gadis Niraksara yang mengenalkanku pada gelora euforia asmara; bilamana lisanku membisu, maka ketahuilah jikalau penaku masih senantiasa menuliskan namamu." Pangeran Aksara ialah nama pena Devries van Diederik, pemuda blasteran keturunan Bel...