Hampa

9 0 0
                                    

Entah di kebetulan manapun, aku masih berharap Allah pertemukan kita kembali dalam keadaan aku lebih bisa menerima ketentuan-Nya

- - - - - - - - - -

Beberapa kali aku mengembuskan napas kasar. Dua hari ini hatiku dipenuhi dengan rasa gelisah. Nama Chanif terus memenuhi pikiranku, ditambah dengan Mas Kaffa yang terus-terusan mencecariku dengan beberapa pertanyaan tentang pria yang kuuntit akhir-akhir ini. Dia bahkan rela masih menetap di rumah Ayah hanya untuk menungguku buka suara. Mbak Aluna pun sepertinya dikompori oleh suaminya itu agar mendesakku untuk jujur soal Chanif. Tetap saja aku tak mau.

Ya, memang benar hari itu ibu tiba-tiba keceplosan soal aku yang sudah memiliki incaran. Alasannya karena Mas Kaffa masih menanyakan mau atau tidaknya aku untuk dijodohkan dengan Atha, pria yang pernah ia kenalkan sebelumnya.

Jujur, Atha memang pria yang baik dan bahkan sesempurna itu untuk dijadikan suami. Namun, yang namanya hati tak bisa dipaksa begitu saja. Aku sudah sejatuh ini pada Chanif, lalu diminta untuk beralih hati?

Pagi ini dengan ditemani segelas susu putih dan buku sketch book, aku bersantai di teras rumah sembari memerhatikan segerombol pria yang lewat depan rumah. Namun, lagi-lagi tak kujumpai sosok tubuh tinggi tegap itu melintas di sana. Apakah dia memang benar-benar sudah pergi?

Haha, ini lucu. Aku jelas-jelas tau kamu sudah pergi, namun mataku terus mencari batang hidungmu itu. Berharap kamu tak benar-benar pergi.

Benar-benar pria itu sudah mengambil separuh kehidupanku untuk hanya memikirkannya. Sejak hari itu, rasanya hidupku kosong, ada yang hilang padahal tak pernah kumiliki. Maaf aku terlalu lebay mendramatisir kepergiannya yang tiba-tiba itu.

Entah akan lanjut ke mana pria itu. Kuliah? Kerja? Ataukah.. meneruskan mengajinya di tempat yang lebih jauh dari sini? Ya Allah, mengapa Kau sebesar ini tanamkan perasaan untuknya dalam hatiku?

Bella juga masih saja mengingatkanku bahwa pria tak hanya Chanif. Terlebih saat aku menceritakan Atha padanya, dia dengan semangat memintaku untuk menerima tawaran dari Mas Kaffa.

Hufft, semua orang sama saja. Tak ada yang mengerti, bahwa perasaan tak bisa dipaksa hanya karena siapa yang lebih baik. Meski terkadang aku juga masih bertanya, apa yang sebenarnya membuatku sejatuh ini pada Chanif?

Lelah mengamati, aku memilih masuk ke dalam kamar kembali untuk menyelesaikan PPT untuk presentasi besok. Oke, aku juga harus membagi diriku pada studi yang telah kupilih. Barangkali dengan itu aku bisa sedikit meredakan perasaan gelisahku.

Aku memasang headphone dan arabic song mulai terputar. Tak bisa dipungkiri, lagu-lagu arab dari penyanyi teratas seperti Nancy Ajram, Sherine, Fadel Chaker, dan lainnya selalu mengingatkanku pada Chanif. Entah mengapa lagu-lagu mereka membawa vibes tentang pria itu.

. . .

Aku mematikan laptop setelah dua jam berkutat menyelesaikan tugas besok. Aku menyenderkan punggung sebentar sebelum akhirnya berdiri untuk mengambil sebuah buku yang sudah lama tak kubuka.

Entah angin dari mana, aku mencium lembar tiap lembar buku tersebut dengan senyum yang mengembang. Rasanya menenangkan seperti aku bisa mencium aromanya saat bertemu beberapa kali.

"Uehem.. kayaknya nikmat banget aromanya?" Suara itu menghentikan aktivitasku seketika. Aku melirik tajam ke arah pintu yang sudah ada Mas Kaffa berdiri dengan senyum smirknya.

"Exuse me, sir. Bisa nggak, kalau mau masuk ketuk pintu dulu?!" sindirku. Pria itu justru semakin masuk ke dalam kamar.

Interaksi TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang