Rindu Paling Menyakitkan

10 1 0
                                    

Rindu ini menyakitkan. Hatiku penuh akan rindu untukmu, sedang di sana rindumu penuh untuknya

- - - - - - - - - -

Ribuan kali pertanyaan yang sama terus kulontarkan pada Bella, bahkan ketika sampai di rumah pun aku masih menanyakannya melalui pesan.

"Aku tidak salah dengar, kan? Dia benar-benar mengatakan itu untukku?"

Setidaknya seperti itu pertanyaan yang kutanyakan, bahkan mungkin rasanya Bella sudah muak.

Sekujur tubuhku rasanya benar-benar bak taman bunga yang indah. Kupu-kupu beterbangan mengikuti melodi hati yang tengah kasmaran.

Ya Allah, hanya satu kata darinya, namun itu sangat bermakna. Ya, untuk kesekian kalinya aku jatuh hati padanya.

Biarlah begini, biarlah rasa ini terus tumbuh, jika ketika kuhilangkan hanya akan terus menyiksa. Karena mungkin benar, Allah tak akan memberi rasa pada hati tanpa ada tujuan di dalamnya.

Entah nantinya akan jadi pelajaran ataukah hadiah, aku hanya berusaha merawatnya dengan baik, dengan doa dan harapan Allah tak jadikan semua ini sia-sia.

- - -

Seperti kata pepatah bahwasanya waktu terus berjalan. Aku terus mencoba untuk menikmati hidup tiap harinya. Menyibukkan diri dengan segala aktivitas kampus yang terus memadat, terlebih di semester yang beranjak tua ini.

Bulan depan kegiatan-kegiatan semester 7 sudah harus kunikmati. Mulai dari PPL (praktik pengalaman lapangan) hingga KKN (kuliah kerja nyata). Belum lagi bimbingan skripsi yang akan menjadi akhir dari hiruk pikuk kehidupan kampusku.

Ibu terus mengingatkanku untuk fokus pada belajarku. Mungkin beliau tau aku terlalu sibuk memikirkan hal yang harusnya tak kuambil pusing, toh dia belum tentu jodohku.

Aku terus mencoba itu, bahkan segalanya kulakukan agar tak memikirkan pria itu. Yaa meski tetap saja namanya selalu terlintas dalam benakku. 

Ini sudah tahun pertama sejak aku mengagumi bahkan menyukainya. Dulu, kupikir rasa ini tak akan bertahan lama. Kupikir aku hanya sekedar kagum akan ketaqwaannya, tak lebih, hanya itu. Namun entah mengapa rasa itu terus menjalar hingga rasanya merenggut setengah dari kehidupanku. 

Satu tahun lebih hatiku dipenuhi oleh namanya, khawatir akan kehidupannya, cemburu padahal dia bukan milikku, bahkan rasanya tak rela jika suatu saat bukan aku yang akan bersanding dengannya.

Bahkan di tengah gemuruh rasa itu, aku pernah berpesan pada Bella selaku satu-satunya orang yang saat itu tau segalanya tentang perasaanku pada Chanif. 

"Bel, kalau memang suatu saat bukan aku yang akan menjadi istrinya, aku harap bukan orang terdekatku yang akan berada di sisinya. Jadi aku berpesan, kamu boleh menikah dengan siapapun itu, asalkan bukan sama dia ya, Bel?"

Aku ingat betul aku mengatakan itu di kampus saat jam istirahat, sebelum akhirnya bertemu Faira bersama Atha.

Bukan bermaksud mendahului kehendak, namun saat itu pikiran berkecamuk sehingga rasanya tak rela jika Chanif benar-benar bukan untukku.

Apakah aku egois berharap cintaku berbalas? Apakah aku egois meminta takdir berpihak baik atas cintaku pada pria itu? Apakah aku egois memaksa takdir untuk selalu berpihak padaku?

. . .

Tok tok..

Suara pintu diketuk saat aku tengah fokus menyelesaikan catatanku di buku.

Aku menoleh dan melihat pria menyebalkan tengah berdiri dengan wajah datarnya. Aku tak langsung mempersilakannya untuk masuk, namun pria yang kini telah menjadi bapak anak satu itu masuk saja lalu duduk di atas kasur.

Interaksi TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang