Penghianat

13 1 0
                                    

Awal penghianatan biasanya berawal dari hal sederhana, dan dari orang yang paling kita percaya dalam hidup

- - - - - - - - - -

Hampir satu bulan aku dipenuhi rasa gelisah akan dirinya. Lagi-lagi pria itu merebut sebagian besar pikiranku.

Aku masih seringkali buka tutup akun instakilonya, melihat highlight story yang tersimpan di sana. Rupanya quotes rindu yang ia buat satu bulan lalu bukanlah kali pertama. Bahkan beberapa kali ia menyinggung hal yang sama.

Hufft..

Final chapternya, setiap kali aku merindukannya, aku kembali teringat bahwa ada hati lain yang lebih ia rindukan daripada aku.

Kalaupun ada cara agar aku bisa melupakannya, mungkin itu sudah kulakukan sejak dulu. Bahkan di tengah kesibukanku mengerjakan tugas, bisa-bisanya namanya terbayang di mana-mana. Entah tiba-tiba muncul di dalam buku, nama narasumber, atau inisialnya yang sama dengan inisial dari nama anggota kelompok penelitianku.

Entah mengapa orang-orang paling berpengaruh untuk mengingatkanku, tiba-tiba diam tanpa suara. Seperti ibu yang kini jarang berbincang karena memang aku jarang banyak waktu di rumah, Mas Kaffa dan Mbak Aluna yang satu bulan ini menempati rumahnya sendiri dan jarang ke sini, dan juga Bella yang kini jarang menghubungi lewat chat.

Iya, omong-omong soal Bella, satu bulan ini kami sangat jarang berkomunikasi. Di kelas saja, kami hanya saling tegur sapa. Setelahnya kami tak banyak bicara di chat. Mungkin sama-sama tengah sibuk dengan dibombardirnya 3 tugas penelitian, belum lagi dengan laporan yang harus selesai di pertemuan akhir semester ini.

Dia juga sudah jarang sekali membahas Zayyan—pria yang ditaksirnya, padaku. Aku juga tak berani menanyakan hal itu padanya, karena gadis itu tipikal yang tak akan bercerita jika dirinya memang belum ingin bercerita.

Soal Atha, beberapa kali Mas Kaffa masih menyinggung soal itu. Dia berharap aku bisa menerimanya, namun lagi-lagi aku diam. Di samping ingin fokus kuliah, aku masih belum bisa mengalihkan hati dari pria yang sekarang saja aku tak tau bagaimana kabarnya.

Pagi ini setelah sarapan ayah menghentikanku dan meminta untuk tetap duduk di ruang makan. Sedangkan ibu pergi ke dapur setelah membereskan makanan.

Aku menatap lamat ayah yang masih sibuk menyesap kopi, sembari berpikir apa yang akan disampaikan beliau. Karena tak biasanya ayah mengajakku berbincang berdua jika tak ada Mas Kaffa di rumah.

"Sekarang semester berapa, Dek?" tanyanya. Tanpa pikir panjang aku langsung menjawabnya.

"Enam, Yah."

"Kurang 2 semester lagi ya berarti?" Aku mengangguk.

"Doanya, Yah. Semoga bisa tepat waktu lulusnya," balasku.

"Aamiin. Fokus, Dek, jangan banyak main cowok," ucapnya. Aku mengernyitkan dahi, penuh tanya.

"Shafa nggak ada main cowok, Yah," ucapku.

"Alhamdulillah, kalau gitu. Sekedar suka atau mungkin kagum itu boleh, asal nggak sampai melanggar aturan Allah," terangnya.

Aku sedikit menaruh curiga, pasalnya tak biasanya ayah berkata seperti ini. Apalagi secara tiba-tiba seperti sekarang.

"Ayah bisa ngomong kayak gitu, pasti ada sebabnya."

"Nggak ada. Ayah cuma kasih wejangan aja buat kamu. Soalnya, ya sedikit lah Ayah tau kamu lagi suka sama seseorang," ucapnya. Seketika aku membelalakkan mata. Mampus! Ayah sudah tau.

"Dari mana Ayah tau? Sok tau nih Ayah," candaku.

"Dari Ibu." Seketika aku menoleh cepat ke arah Ibu yang kini berjalan ke arah kami. Wanita itu tersenyum tanpa dosa sembari menaruh sepiring bakwan jagung di meja.

Interaksi TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang