01

201 21 4
                                    


Hujan deras mengguyur jalanan Seoul minggu malam. Kiara memandangi derasnya di bawah kanopi toko yang telah tutup sambil memeluk dirinya sendiri. Sepatu putihnya dan ujung celana jeans yang dikenakannya kotor terkena cipratan air bercampur tanah. Hanya sinar lampu jalanan yang membias wajahnya dan memperlihatkan dirinya yang menangis. walaupun sudah berulangkali ia ingin berhenti namun sudah tak terhitung berapa kali ia mengusak pelupuk lagi jika air matanya masih jatuh. Rasanya percuma berharap semua akan baik-baik saja di saat hatinya terasa sangat pedih. Kiara tidak sedang baik-baik saja. dirinya hancur berkeping.

Dua jam lalu pemuda yang merupakan pacarnya, atau sekarang mantan pacarnya , memutuskannya di depan wanita lain. padahal Kiara sangat mencintainya. teramat sangat mencintainya. cinta mati.

Tetapi, Kiara masih tak paham sampai detik ini mengapa ia diputuskan. Ia kerap bertanya pada dirinya sendiri, mengapa orang-orang pergi hanya karena ia sudah tidak punya apa-apa lagi?

Apa salah jika ia jatuh miskin? Ia memang bukan lagi puteri pengusaha kaya terpandang seperti julukan orang-orang padanya selama ini. Ayahnya tersandung kasus penggelapan dana dan kini masuk penjara. otomatis perusahaan mereka pun bangkrut.

Sekarang Kiara tinggal bersama bibinya lantaran ibunya memutuskan untuk melarikan diri. namun, ia ingat bahwa pagi tadi dirinya diusir dari sana lantaran tidak sengaja membuat keponakannya terjatuh. Jadi kini sebenarnya, Kiara tak punya tempat tinggal atau tujuan.

Hidupnya sungguh kacau. Kiara merasa kesepian, sendirian, ditinggalkan.

Diantara kegamangannya di malam berhujan. Tangisan Kiara kembali jatuh. Ia berjongkok selagi memeluk lutut. Terisak lagi, meratap lagi, menyalahkan hidupnya lagi.

Lalu hal bodoh melintasi pikirannya dan membuatnya perlahan terdiam.

Kiara menelan saliva. Tangannya mengepal kala ia berdiri dan berjalan menerobos hujan.

Sungai Han tak jauh dari sini. Kiara hanya perlu berjalan beberapa ratus meter ke sana. tak peduli tubuhnya yang basah serta udara dingin menggigit, menggerogoti hatinya. Ia tiba di pinggiran pembatas jembatan. Tangannya memegang pagar besi dan melihat ke air sungai yang diselimuti gelap.

Dalam benaknya, ia merasa hanya perlu meloncat lalu tidak akan merasakan apa-apa lagi.

Kiara melepaskan sepatunya dan memanjat pagar pembatas tersebut. Telapak kakinya masih hati-hati menyusuri besi sebagai pijakannya saat ini. Kiara lalu memejam, merasa bahwa sesungguhnya ia sangat takut mati. Tetapi jika dihadapkan dengan kenyataan pahit melingkupinya, Kiara sungguh tidak punya alasan lagi untuk hidup.

Dicengkramnya erat pinggiran besi yang licin. Baru saja ia hendak melompat didengarnya suara seorang pria berteriak padanya,

"Kau pikir mati adalah solusi?!"

Kiara spontan menahan pegangannya lagi dan menoleh ke sumber suara. Namun karena pijakannya basah maka ia terpeleset dan beruntung masih sempat memegang besi yang kini menjadi satu-satunya tumpuan.

Kini tubuhnya tergantung di sana. jika kedua tangannya tak lagi kuat mencengkram besi maka ia akan mati.

Pria tadi tiba di dekatnya namun sama sekali tidak melakukan apapun. Ia hanya memperhatikan bagaimana Kiara menangis ketakutan merasakan betapa dekat ia dengan kematian.

"T-tolong aku..." lirihnya.

"Bukannya kau ingin mati?" tanya pria itu.

"Aku hanya perlu melompat dan tenggelam di air, seharusnya kau tidak perlu berteriak padaku!" pekik Kiara marah di antara isak tangis.

"Kalau begitu lompat sekarang. kenapa malah ragu-ragu?"

Kiara tidak menjawab. Namun tangisannya makin hebat. Dia mencoba melihat ke bawah. Kini kegelapan di sana membuat jantungnya semakin bertalu kencang sampai dadanya sakit.

Pria itu pada akhirnya mengulurkan tangannya menarik kedua tangan Kiara hingga ia dapat meraih pinggangnya agar mampu melewati besi pembatas. Tenaga pria itu sangat kuat. Kini Kiara terduduk di aspal yang basah sementara hujannya berubah gerimis.

"Aku tau apapun yang kau lalui saat ini pasti sangat sulit. Namun kalau kau menyerah sekarang, seluruh hidup yang kau jalani sejauh ini akan sia-sia. Masih banyak yang harus kau lakukan. Jangan gegabah, mengakhiri hidup bukanlah solusi, " ujar pria itu. suaranya kali ini lebih lembut. Kiara menatapnya sehingga mata mereka bertemu.

Deg!

Entah mengapa memandang wajahnya membuat Kiara ingin menumpahkan segala hal yang mengganjal. Terlebih ucapan itu seolah memberikannya tamparan keras.

Kiara menangis. pria itu buru-buru mengatakan, "It's okay, tidak apa-apa. menangislah. Aku tau kau sangat takut." lalu diusapnya kedua lengan kurus Kiara. Menunggunya menumpahkan tangisan selama beberapa saat. "Akan aku antar pulang. Katakan dimana alamat rumahmu."

Kiara menunduk. Enggan memberitahu karena saat ini dia sama sekali tidak punya tujuan.

Melihat Kiara yang diam, pria itu melihat ke jalanan yang lumayan sunyi. Ia memegang erat kedua pundak Kiara guna membawanya berdiri, "Apa kau ingin ke rumahku?"

Kiara diam. Pria itu langsung meralat lantaran merasa sarannya agak aneh untuk mereka yang baru saja kenal. "Kalau kau rasa ragu-ragu, aku tidak akan memaksa."

Namun, Kiara mengangguk. tidak ada pilihan dia menolak.Walau sungguhan dia takut sekali tapi dia nekat. Pikirannya sedang buntu untuk memikirkan baik-baik apapun pada situasi ini.

Pria itu tersenyum. "Siapa namamu?" tanyanya.

"Kiara," jawab Kiara lirih sambil memandang paras tampan yang menatapnya lembut.

"Namamu sangat cantik," pujinya. "Namaku Jungkook," pria itu pun memperkenalkan diri walau Kiara tak bereaksi apa-apa. "Baiklah, Kiara, ayo ikut denganku," ajaknya. Ia membopong tubuh Kiara dan membawanya pergi dari sana.

Kendati senyuman jahatnya terulas. Jungkook tertawa dalam hati karena rencananya sudah berjalan hampir sempurna.

Burning Desire [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang