13

67 8 0
                                    


Kafe Oliver sudah tutup. Tapi Jimin dan tiga pegawai masih ada di sana sebelum pulang. Pria itu kini mengenakan kacamata serta setelan kemeja putih.  Surai cokelatnya tampak lebih terang di bawah pendaran lampu di atasnya.

Jimin masih sibuk melakukan pembukuan untuk hari ini. ia menghitung seluruh pemasukan di kasir.

Setelah selesai ia melepaskan kacamatanya dan mendadak kepikiran Kiara. Tadi dia juga memikirkannya karena Kiara tidak masuk lagi sudah tiga hari berturut-turut. dan sekarang Jimin membayangkan Kiara lagi sebab gadis itu sama sekali tidak pernah mengirim pesan mengenai keabsenannya tersebut.

Mungkinkah dia berhenti? Kalau berhenti begitu saja seharusnya dia bilang dulu. begitulah Jimin mempertanyakannya sejak kemarin.

“Apa dia benar-benar tidak pernah izin padamu?” tanya Jimin pada Yeji serta dua orang pegawai kafe Oliver lainnya yang sedang merumpi di salah satu meja. Mereka semua menoleh pada si bos.  “Apa dia ada memberitahumu?”  tanya Jimin lagi.

Yeji menggeleng. Tapi dia teringat satu hal. “Bukankah kemarin itu dia sedang sakit? Mungkin tidak sempat memberitahu karena itu.”

“Benar juga.” Jimin melipat bibir. “Mana nomer ponselnya, berikan padaku.” Jimin meraih ponsel yang ada di hadapannya sementara Yeji mengeluarkan ponselnya dan mencari kontak Kiara untuk dikirimkan ke Jimin via Line.

Ponsel Jimin langsung berdenting. Setelah menerima nomernya, Jimin ingin mengiriminya pesan namun dia bimbang sendiri mau mengetik apa. walau setelah dipikir-pikir, Jimin memutuskan untuk mengetik pesan singkat saja.

“Ini aku, Jimin. hubungi aku jika kau sudah merasa baikan.”

Send.

Setelah itu, Jimin beranjak. Ia pamit pulang ke semuanya dan berpesan untuk menutup kafe dengan teliti.

Jimin mengendarai mobilnya pukul sepuluh malam meninggalkan pekarangan gedung kafe Oliver yang lampunya perlahan redup. Bertemankan musik klasik yang terputar lewat radio ia menyusuri jalanan Seoul yang sedang lenggang. Sejak kemarin juga cuaca sedang tak bagus. Seringnya hujan. Walau maklum saja peralihan musim begini cuaca memang seperti remaja labil.

Pria dua puluh tujuh tahun itu memelankan lajunya sewaktu melihat wanita sedang berjalan sempoyongan lantaran mabuk. Mulanya Jimin tak begitu dapat mengenalinya, tapi setelah melihat untuk yang kedua kalinya, Jimin pun akhirnya mengenalinya. Mereka pernah bertemu beberapa kali karena Jungkook beberapa kali pula mengajak wanita itu ke kafenya.

Walau itu sudah agak lama sih. Jimin tidak ingat kapan terakhir kali melihatnya.

Akan tetapi jika melihat kondisi wanita itu yang mabuk, ditambah memang dia sendirian, Jimin merasa tidak enak harus mengabaikannya sementara dia kenal.

Maka, jadilah Jimin menepikan mobilnya di terotoar sembari membunyikan klakson.

“Seolbi!” panggilnya seraya membuka kaca mobil dan mengeluarkan sedikit kepalanya dari jendela.

Yang dipanggil berhenti walau pijakannya agak goyah. Seolbi. Ya, Seolbi pun menoleh dan mencoba mengenali siapa yang memanggil dari pinggir terotoar itu. Lalu dia tersenyum lebar saat akhirnya tau siapa dia.

“Ey… kau rupanya, malaikat tampan.” Lalu dia cekikian sambil menyugar surai pirangnya.

“Kenapa sendirian?”  tanya Jimin. 

“Aku?” Seolbi menunjuk dirinya sendiri. Lalu dia tertawa,  “Aku kan selalu sendirian.”

“Kenapa tidak menghubungi Jungkook? dia kan pacarmu,” tanya Jimin lagi.

Burning Desire [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang