#27

2.5K 171 15
                                    

Jam dinding terdengar menggema di ruangan. Sepasang suami-istri itu saling menatap. Tatapan kecewa. Jeno bisa merasakannya saat melihat garis mata sang istri.

"Maaf." lirih Jeno lemah.

"Untuk?"

"Aku selalu fokus sama pekerjaan. Aku tahu Joan selalu buat kamu susah sam—"

"Susah, kamu bilang? Anak kita nyusahin?" potong Karina emosi.

Jeno meneguk liurnya susah payah. Ia tak bermaksud demikian. Ia hanya ingin mengerti posisi Karina saat ini, bukan memperburuk keadaan yang sudah buruk.

"Kamu bener-bener enggak tahu apapun, Jeno. Bisa-bisanya kamu bilang anak sendiri buat susah? Ucapan kamu seakan-akan buat aku jadi ibu yang buruk." timpal Karina dengan emosinya yang memuncak.

Suasana mencekam salah satu pihak saja. Jeno. Pria itu memandangi istrinya yang terus meninggikan nada bicara padanya. Ia mencoba memahami istrinya saat ini. Ia sadar bahwa pernikahannya diuji akan rasa egois.

Karina diam. Melihat Jeno hanya duduk di sofa tanpa melakukan apapun membuatnya ingin menangis. Mengapa suaminya seperti pria tanpa perasaan? Apa dia tidak tahu betapa sulitnya menghadapi situasi ini? Ia sudah lelah. Sangat lelah.

Air matanya mengalir. Tak begitu deras, namun ia yakin Jeno bisa melihatnya. Karina menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Suaranya yang biasanya terdengar menyenangkan kini berubah menjadi deru isakan.

"Maaf, sayang."

Jeno mendekap erat tubuh wanita yang selalu ia cintai. Dadanya sangat sesak mendengar suara tangisan tersebut.

"Joan itu anak kita, Jeno. Dia bukan beban buat aku. Aku cuman capek karena selalu sendiri. Kamu udah beda. Kamu kelihatan enggak butuh aku lagi. Aku capek." ujarnya dalam dekapan Jeno.

Tak banyak yang Jeno lakukan selain mendengar keluhan istrinya. Dengan sentuhan lembut pada punggung rapuh Karina, air matanya perlahan mulai berkurang hingga akhirnya berhenti.

"Sekarang, aku boleh ngomong?" Jeno meminta izin, hingga Karina mengangguk.

"Perusahaan sekarang butuh aku. Banyak karyawan resign karena enggak kuat persaingan. Aku lembur setiap hari karena itu, sayang."

"Maaf ya, kalau sikap aku enggak peduli. Kamu cuman butuh aku, tapi aku enggak bisa paham itu. Kamu boleh kecewa sama aku. Tapi, jangan lama-lama. Aku tetap butuh kamu, apapun yang terjadi."

Kedua ibu jari Jeno menghapus sisa air mata yang terlihat di pelupuk mata Karina. Bibir Karina kelu untuk membalas ucapan Jeno. Ia seperti kehilangan tenaga saat ini. Namun, semuanya ternyata kembali seperti semula. Di saat pemikiran buruknya menghantui, hal baik akan selalu menghampirinya sekalipun harus melewati hal buruk.

"Maaf, aku juga enggak berusaha untuk paham situasi kamu. Aku enggak tahu kalau situasi perusahaan kacau." lirih Karina.

Jeno tersenyum—menghangatkan suasana yang sempat tegang karena perasaan egois yang menyelimuti. Ia mendekap hangat istrinya. Terlalu sibuk dengan pekerjaan membuat Jeno seakan lupa dengan perasaan hangat ini. Ia sudah terlalu lama membuat istrinya merasa sendiri.

"Sekarang, anak kita yang ganteng itu dimana? Aku juga mau peluk dia. Aku kangen."

"Dia di rumah sakit, dirawat. Keadaannya mulai membaik. Dokter kabarin aku terus."

Jeno cukup tersentak kala mendengar kabar yang tak mengenakkan itu. Ia benar-benar tak tahu apapun mengenai keluarga kecilnya.

"Sekarang kita siap-siap jenguk Joan, ya? Aku mau siapin mobil dulu, setelah kamu siap kita berangkat, ok?"

VIP WIFE [AESPA X NCTDREAM]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang